KOMPAS.com - Drs. Raden Mas Panji Sosrokartono adalah putra Adipati Ario Sosroningrat, Bupati Jepara.
Pria kelahiran Mayong, Jepara, 10 April 1877 ini merupakan kakak dari RA Kartini.
Baca juga: RA Kartini, Putri Jawa Pejuang Emansipasi dan Sejarah Hari Kartini
Ia termasuk ke dalam intelektual bumiputra pertama, putra bangsa yang cerdas dan menggunakan kemampuannya untuk kepentingan bangsa dan tanah air.
Salah satu predikat yang tersemat bagi Drs. Raden Mas Panji Sosrokartono adalah sarjana pertama di Indonesia.
Baca juga: Biografi Ki Hajar Dewantara dan Perannya bagi Pendidikan di Indonesia
Dilansir dari laman Museum Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia, ia memulai pendidikan di Europeesche Lagere School (ELS) di Jepara.
Baca juga: Biografi Hamengku Buwono IX, Pahlawan Nasional Asal Yogyakarta, PNS Pertama di Indonesia
Setelah lulus, ia kemudian melanjutkan pendidikan Hogere Burger School (HBS) di Semarang dan lulus pada tahun 1897.
Ia melanjutkan pendidikan di kota Delft (Belanda) tepatnya di Sekolah Teknik Tinggi, sebelum akhirnya pindah ke Fakultas Sastra Timur di Universitas Leiden dan lulus pada tahun 1908.
Sosrokartono adalah mahasiswa pertama dari suku Jawa yang bersekolah di Belanda, tepatnya di University Leiden.
Dari universitas tersebut, Sosrokartono mendapat gelar Docterandus in de Oostersche Talen dengan predikat summa cumlaude.
Sebagai peraih gelar sarjana pertama, ia menjadi simbol dari kebangkitan intelektual bagi masyarakat Jawa.
Sosrokartono juga tercatat sebagai sosok yang menguasai 37 bahasa, diantaranya 17 Bahasa Eropa, 9 bahasa timur dan 11 bahasa daerah.
Mengutip tesis Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang karya Minanur Rohman Mahrus Maulana yang berjudul Raden Mas Panji Sosrokartono dan Morality Education di Indonesia (2017), setelah lulus kuliah, Sosrokartono pernah menjadi wartawan perang New York Herald di tengah meletusnya Perang Dunia I.
Ia juga pernah bekerja sebagai penerjemah di Wina (Austria), Kedutaan besar perancis di Den Haag, serta pada Liga Bangsa-Bangsa di Jenewa.
Rasa nasionalisme membuatnya terpanggil kembali ke tanah air meski telah hidup berkecukupan di Eropa.
Di tanah air, ia bertemu dengan Ki Hajar Dewantara dan kemudian dipercaya mengurus Nationale Middelbare School di Bandung.