KOMPAS.com - Tiga orang warga Indonesia eks napi teroris, yang pernah menjadi petempur kelompok militan ISIS di Suriah, menyadari kesalahannya dan berusaha menebusnya dengan menyebarkan narasi anti-ekstremisme di masyarakat.
Inilah kisah tiga pria asal Surabaya, Pasuruan dan Malang, Jawa Timur, yang terpapar gerakan ekstremisme yang menghalalkan kekerasan, dengan berangkat ke medan perang di Suriah dan bergabung dengan kelompok militan yang menyebut diri Negara Islam atau ISIS.
Mereka terpikat menjadi 'jihadis radikal' melalui propaganda di internet, persinggungan dengan seorang perekrut ISIS, serta proses panjang dan perlahan yang membuat mereka makin terdorong ke dalam ekstremisme.
Baca juga: KKB Dilabeli Teroris, Kapolda Papua: Kami Tetap Kedepankan Pendekatan Kesejahteraan
Ujungnya, atas nama persaudaraan dan, tentu saja, petualangan adrenalin, Abu Farros (nama sebutan), Wildan Bahriza, dan Syahrul Munif, meninggalkan ayah, ibu, anak dan keluarganya.
Dihadapkan kekejaman perang di Suriah, kekejian ISIS, dan perangai negatif sang perekrut, kesadaran intelektual dan ruhani, juga situasi di Indonesia, mereka akhirnya memutuskan meninggalkan Suriah.
Apa yang terjadi setelah mereka diadili dan mendekam di penjara?
Di titik mana dalam kehidupan para eks jihadis ini sehingga mereka akhirnya berhasil keluar dari ideologi kebencian?
Bagaimana mereka beradaptasi di masyarakat ketika dihadapkan adanya stigma tentang latar belakang mereka sebagai mantan napi teroris?
Berikut kesaksian tiga orang itu dalam wawancara terpisah di Surabaya dan Malang.
Baca juga: Kisah Pertobatan WNI Eks Jihadis di Suriah, Abu Faros: Saya Tak Bisa Tidur Selama 2 Bulan (1)
Baca juga: Kisah Pertobatan WNI Eks Jihadis di Suriah, Syahrul: Orang Tua Terpukul Saat Tahu Saya Bohong (3)
Wildan Fauzi Bahriza masih berusia 22 tahun ketika bergabung dengan kelompok militan ISIS di Suriah pada Juni 2013 lalu.
Dia merupakan salah-satu generasi pertama dari Indonesia yang berangkat 'berjihad' ke negara itu.
"[Di usia muda] Semua orang pasti pernah merasakan bagaimana mengutamakan adrenalin daripada berpikir jernih," katanya kepada BBC News Indonesia, pertengahan April lalu. Kami menemuinya di pondokannya di pinggiran Kota Malang.
Baca juga: Kalapas Gunung Sindur: Napi Teroris Awalnya Hormat Bendera Saja Tidak Mau
Hal itu dia utarakan ketika BBC Indonesia bertanya apakah saat itu dia tidak menyadari kompleksitas di balik perang saudara di Suriah.
"Semangat itu meluap-luap, apapun akan aku lakukan untuk mencapai target itu," tambah sarjana strata satu bidang informatika di sebuah perguruan tinggi swasta di Malang, Jatim ini.