Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dibutuhkan Penelitian Paleotsunami untuk Bali

Kompas.com - 31/05/2013, 03:46 WIB

Jakarta, Kompas - Demi mengetahui sejarah gempa dan tsunami di utara Bali, perlu ada penelitian paleotsunami. Penelitian itu dinilai perlu dilakukan di sejumlah lokasi karena Indonesia rawan tsunami sebagai akibat keberadaan sejumlah celah gempa.

Demikian diungkapkan Direktur Tata Ruang, Laut, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan Subandono Diposaptono seusai Workshop Penataan Ruang Berbasis Mitigasi Bencana (Tsunami), di Jakarta, Kamis (30/5).

Menurut Subandono, Bali memiliki potensi terjadi tsunami karena terdapat celah gempa dari kejadian gempa dan tsunami tahun 1994 di Banyuwangi serta gempa dan tsunami tahun 1977 di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat.

Celah gempa lainnya ialah daerah Cilacap, Jawa Tengah, akibat gempa dan tsunami di Banyuwangi (1994) dengan kejadian di Pangandaran (2006), juga daerah antara Pangandaran dan Mentawai, Sumatera Barat.

Memastikan lokasi

Sementara itu, pakar tsunami dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Widjo Kongko, menyebutkan, gempa tsunami di Bali, selain perlu penelitian paleotsunami, juga perlu dicari lokasi penumpukan debrisnya untuk menentukan lokasinya secara tepat.

Data gempa tsunami di utara Bali diperoleh dari Data Dasar Tsunami Terintegrasi (Integrated Tsunami Database). Data tersebut, menurut Widjo, didapat dari data batimetri (pemetaan topografi dasar laut) global yang dibuat dengan seismometer pada masa itu yang belum bagus (kualitasnya) sehingga belum bisa dipastikan lokasi episentrum (pusat gempa) dan magnitude (kekuatan gempa)-nya.

”Dibutuhkan penelitian lebih lanjut dengan pendekatan dengan sumber jamak, melibatkan banyak lembaga penelitian, terutama pakar paleotsunami, karena peristiwanya sudah sekitar 100 tahun lalu,” kata Widjo.

Berdasarkan data tersebut, gempa besar di utara Bali terjadi empat kali, yang semuanya mengakibatkan tsunami. Data itu juga mengungkap hal baru, yaitu pusat gempa terdapat di daerah back arc (busur belakang samudra) yang terdapat di utara Bali akibat desakan dari subduksi di selatan Bali.

Gempa-gempa tersebut tercatat pada tahun 1815 dengan magnitudo 7,5 dan mengakibatkan tsunami dengan gelombang setinggi 10 meter, tahun 1818 (8,5; 3,5 meter), 1820 (7,5; 24 meter), dan 1857 (7,0; 3 meter).

Pada setiap kejadian tsunami biasanya akan terjadi penumpukan deposit debris (serpihan). Lokasi terjadinya penumpukan tersebut akan dicari melalui penelitian yang sekarang sedang direncanakan untuk segera dilakukan.

”Untuk mencari secara tepat di mana tsunami itu sebenarnya terjadi,” ujarnya. (ISW)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com