Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Para Mantan Perambah Mendamba Sejahtera...

Kompas.com - 24/05/2013, 03:46 WIB

Enam belas tahun silam, dengan asa membubung, Darsono (43) memutuskan meninggalkan profesinya sebagai perambah hutan dan menerima tawaran sebagai petambak plasma. Profesi petambak plasma di tambak udang PT Central Pertiwi Bratasena (sekarang Central Pertiwi Bahari) sempat memberinya mimpi sejahtera.

Namun, hingga kini, sejahtera masih menjadi mimpi. Di usianya yang tidak lagi muda, ia masih bergulat dengan urusan mendasar, yaitu kebutuhan perut. Ia dan keluarganya saat ini terpaksa bertahan hidup dengan memanen singkong di kawasan tambak yang berada di tepi Way (Sungai) Seputih, Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung.

”Singkong-singkong itu lalu saya buat tiwul untuk makan sehari-hari. Kadang, menjala ikan nila di outlet (kanal) untuk sekadar beli beras biar tidak bosan makan tiwul,” ujar warga Kampung Bratasena Adiwarna itu, Kamis (25/4). Dalam sehari, ia bisa mendapatkan 2 kilogram ikan yang dijual Rp 5.000 per kg.

Terhentinya budidaya udang di tambak CPB sejak Desember 2012 memaksa Darsono dan sejumlah petambak lain akhir-akhir ini harus bertahan hidup dengan memanfaatkan hasil alam, seperti halnya yang dilakukannya saat masih menjadi perambah hutan.

”Perusahaan telah memutus biaya pinjaman bulanan yang semestinya menjadi kewajiban mereka,” tutur Sugianto (37), petambak lain dari Forum Silaturahmi (Forsil) Petambak CPB yang hingga saat ini masih memiliki utang kredit Rp 50 juta dan tidak memiliki aset lain. Padahal, sudah 16 tahun lamanya ia menjadi petambak plasma CPB.

Mereka lalu membandingkan nasib mereka dengan petambak dari kelompok lain, yaitu Petambak Peduli Kemitraan (P2K). ”Mereka (P2K) masih mendapatkan natura dan disediakan tempat tinggal di pengungsian. Namun, itu syaratnya, mereka wajib membela perusahaan dan tidak bisa mengkritisinya,” ujar Darsono.

Padahal, menurut Sugianto, Forsil didirikan bukan untuk merongrong perusahaan. ”Yang kami inginkan hanyalah agar pola kemitraan ini dilakukan secara adil dan transparan. Di Forsil, kami sering memberi masukan agar pihak inti (perusahaan) lebih memperhatikan perbaikan infrastruktur perairan untuk mengatasi maraknya penyakit udang. Namun, kami ini malah dicurigai dan disudutkan. Dianggap tidak mau bermitra,” ujarnya.

Persoalan penyakit udang, yaitu virus Myonecrosis (MSSV), menjadi salah satu penyebab keterpurukan tambak udang seluas 8.000 hektar itu. Hanya sedikit tambak yang dioptimalkan pada 2010. Dari total 2.400 petak tambak potensial, hanya 710 di antaranya yang masih beroperasi. CPB, yang dahulu produsen terbesar udang vaname dengan produksi hingga 60.000 ton per tahun, produksinya lalu menurun menjadi 12.000 ton sebelum akhirnya berhenti total pada akhir 2012.

Giono (40), petambak plasma CPB lainnya yang juga mantan perambah, menengarai, terpuruknya CPB akibat penyakit udang ini telah berdampak pada kesehatan keuangan perusahaan. Dampak ikutannya, ucapnya, perusahaan kemudian tidak mampu memenuhi kewajiban terhadap 3.300 petambak plasmanya. Inilah yang mengakibatkan fasilitas natura dan pinjaman biaya hidup ke plasma mulai terhenti. Petambak pun kecewa serta melancarkan perlawanan dan tuntutan perbaikan nasib.

Untuk itu, demi bertahan hidup di tambak, meskipun sudah dilarang perusahaan, beberapa pekan terakhir sejumlah petambak nekat melakukan tebar mandiri. Tambak-tambak mereka ada yang diisi udang, sebagian dengan ikan budidaya. ”Kebetulan sekarang tengah musim hujan, tambak jadi terisi air tawar. Ya, saya isi 4.000 ekor ikan mas, sekadar tambahan pemasukan,” tutur Darsono.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com