Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bukan Solusi Sesaat

Kompas.com - 26/04/2013, 02:44 WIB

Kelangkaan minyak solar bersubsidi terjadi di beberapa daerah dalam beberapa pekan terakhir. Antrean panjang konsumen yang hendak membeli solar ditemui di beberapa stasiun pengisian bahan bakar untuk umum atau SPBU. Bahkan, sebagian pengemudi kendaraan bermuatan berat terpaksa menginap di SPBU demi memperoleh solar.

Krisis ketersediaan BBM bersubsidi itu telah mengganggu aktivitas ekonomi, mulai dari transportasi, aktivitas nelayan, hingga pertanian. Distribusi komoditas pokok pun terganggu.

Arus transportasi di wilayah Jawa Tengah bagian selatan lumpuh setelah terjadi pemogokan oleh ribuan angkutan umum dan barang. Mereka memprotes kebijakan pembatasan solar bersubsidi yang merugikan. Aksi ini membuat ribuan penumpang antarkota telantar di sejumlah terminal.

Kondisi ini dipicu oleh pembatasan pasokan solar bersubsidi oleh PT Pertamina (Persero) selaku penyalur BBM bersubsidi. Pembatasan itu disebabkan kuota bulanan solar bersubsidi yang telah ditetapkan pemerintah di sebagian besar provinsi di Tanah Air telah habis.

Dari data Pertamina, kuota solar bersubsidi tahun ini lebih rendah 8,3 persen dibandingkan realisasi penyaluran tahun lalu, yaitu dari 15,56 juta kiloliter menjadi 14,28 juta kiloliter. Hal ini berakibat pada penurunan kuota solar di daerah-daerah.

Per triwulan I-2013, penyaluran solar bersubsidi di hampir semua provinsi melebihi kuota dengan rata-rata nasional 5,2 persen. Bahkan, di sejumlah provinsi, penyaluran solar bersubsidi 10 persen di atas kuota, di antaranya Banten, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Tenggara, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat.

Paling mudah mengatasi kelangkaan solar pun ditempuh pemerintah dengan menggelontorkan solar bersubsidi meski kuota harian habis. Pemerintah bersiap meminta tambahan kuota Premium dan solar bersubsidi sekitar 4,07 juta kiloliter dalam pembahasan APBN Perubahan 2013 dengan DPR.

Pemerintah berdalih, tingginya tingkat konsumsi solar bersubsidi dipicu pertumbuhan ekonomi dan peningkatan daya beli masyarakat terhadap mobil. Pertumbuhan konsumsi BBM bersubsidi diperkirakan 9 persen dari kuota BBM bersubsidi tahun lalu sebesar 45,27 juta kiloliter.

Perlu diingat, penambahan kuota itu tentu berdampak pada pembengkakan subsidi BBM. Dalam APBN 2013 saat ini, kuota BBM bersubsidi ditetapkan 46 juta kiloliter, dengan asumsi harga minyak mentah Indonesia 100 dollar AS per barrel. Subsidi BBM pun ditetapkan Rp 193,8 triliun. Jika kuota bertambah 4,07 juta kiloliter, subsidi BBM akan melampaui Rp 200 triliun.

Untuk kesekian kalinya kuota BBM bersubsidi terlampaui dan timbul kelangkaan karena penyaluran hariannya dibatasi. Kondisi ini berpangkal dari lemahnya perencanaan menghitung perkiraan konsumsi BBM bersubsidi, dan penetapan kuota yang lebih politis tanpa mempertimbangkan kebutuhan riil.

Tingginya konsumsi solar bersubsidi juga merupakan buah dari ketidakpastian kebijakan subsidi BBM. Berlarut-larutnya proses pengambilan keputusan terkait rencana kenaikan harga BBM bersubsidi bagi mobil pelat hitam ini dimanfaatkan sejumlah pihak untuk menimbun barang subsidi itu.

Sejumlah program penghematan yang ada gagal menahan laju konsumsi Premium dan solar bersubsidi termasuk larangan pemakaian BBM bersubsidi bagi kendaraan dinas, mobil pertambangan, dan perkebunan. Tanpa pengendalian BBM bersubsidi berbasis teknologi informasi, operator SPBU tak berdaya mengawasi praktik penyalahgunaan BBM bersubsidi.

Pemerintah harus segera memutuskan kebijakan pengurangan subsidi BBM, disertai pengendalian penyaluran BBM bersubsidi berbasis teknologi informasi dan sanksi tegas bagi pelaku penyalahgunaan BBM bersubsidi. Tanpa itu, penambahan kuota solar bersubsidi hanya jadi solusi sesaat, ibarat menuangkan air ke dalam ember bocor. (EVY RACHMAWATI)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com