Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Puisi-puisi M. Dirgantara

Kompas.com - 02/04/2013, 23:42 WIB

Potret

Orang-orang abu-abu.
Duduk, berdiri.
Sema-semak hijau.

Kabel mengiris di tiga-perempatnya.

Kucari kau di dalam potret itu.
Tapi kau yang memotretnya.

2013

Yang ada dipikiranku

Apa yang ada dipikiranmu melihat masa depanmu?
Apa yang dipikirkan ibumu melihat masa depanmu?
Apa yang ada dipikiran tuhan melihat ibumu memikirkan masa depanmu?

2013

Demam

Ini siang yang dimentahkan demam.
Resap lakrimasi di baju hangat, yang kaujadikan penggantimu, bakal mengering secepat hapusan yang kusembunyikan.

Adakah yang mau menggenggam tangan sepanas fermentasi ini?
--tapi jangan kalian!

Aku kedinginan seperti subuh.

Kau kembali dari tumpul bakso-bakso dan memintaku membuka baju hangatmu yang sememar debu.

Katamu: “Ini, tisu.”
Lalu aku mengelap hidungku.

2013

Kuda-kuda

“Aku yang akan menemanimu di belakang pelana menuju musim dingin. Rasanya malas berkuda dan akan dingin sekali,” katamu 98 tahun lalu.
Lalu kita menunggu dan kamu memegang tanganku.

“Baiklah. Kita berangkat sore hari. ”
“Jagal saja kudaku sebagai bekal,” kamu tertawa.

Waktu berlalu seperti gelisah.
Dan sore itu, 1012, ketika sebelah kakimu menginjak sanggurdiku,
seseorang datang terseok dari gurun yang menguap.
Matanya terhalang kerudung kering tanah.

“Bolehkah aku memohon belasmu?” katanya
padamu.

Kamu menatapnya,
dan
menurunkan kakimu.

Lantas mengambil kembali kudamu dari akhirat dan meminta maaf pada tuhan karena berubah pikiran.

Pelan, kamu memacu di belakangku.
Aku menangkapmu, dari sela rambut dan kerudung.

Tapi aku tiba di kusam salju dan mengingat semua itu, sambil bertanya kapan tapak kudamu lengkap mengulangi tapak kudaku.

Orang berkerudung tanah kering itu
baru saja hilang di terima kasih.

 2013

Nyaman

Saya lebih nyaman pada biru langit
Pada terang lampu malam
Pada hitam aspal
Pada deru jam dua
Pada hijau pojon
Pada bening air
Pada lengket terik
Pada mulus kulit artis
Pada mereka
Pada semua yang terasa biasa saja.

Sayangnya.

2013

Pada Karat Besi
:untuk guruku

Pada karat besi: sebuah pahat sintagma.
Hari menutup mata.
Dan kau, menghapal nama-nama
dari rahim yang trauma.

Semua bisa jadi basi.
Seperti cinta picisan yang ternyata
sama saja dengan kaos kaki.
Seperti irisan tahu isi pedagang emper.
Seperti terima kasih.

Ini tentu saja perihal terima kasih.

Tentang cangkir saat kami menjadi teh hijau,
dan gunting saat kami rambut yang kepanjangan.
Atau musim gugur ketika kami musim panas yang kurang sabar mendingin.
Juga mengenai pembatas di kami; buku yang berabu.

Bagaimana pun bentuknya.

Karena terima kasih,
mungkin tidak untuk dikenang. Seperti patah hati,  Seperti puisi ini.

Sebab bukan,
kenang-kenangan.

2013

M. Dirgantara adalah pelajar di SMA 1 Pinrang. Seorang pembaca. Sedang was-was perihal UN 2013.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com