Jakarta, Kompas -
Sulitnya mengakses ruang dan fasilitas publik ini membuat hak-hak mereka sebagai warga negara terpinggirkan. ”Kami ingin bisa berkarya, dan melakukan aktivitas seperti orang lain pada umumnya,” kata Faisal Rusdi (38) yang sehari-hari ditumpu kursi roda karena lumpuh kaki.
Faisal bergabung dengan 70 difabel lainnya dalam komunitas Barrier Free Tourism. Minggu (31/3) pagi, mereka menyelenggarakan wisata bersama ke kota tua Jakarta.
Wisata itu tidak hanya diikuti para tunadaksa, tetapi juga orang-orang tunarungu, tunanetra, dan tunawicara. Ikut mendampingi mereka para sukarelawan dari Satgas Perlindungan Anak, Komnas Perempuan, Tim Reaksi Cepat, Klub Cekatan (para pendongeng), dan lain-lain.
Cucu Saidah, Ketua Komunitas Barrier Free Tourism, mengatakan, mereka biasa bepergian ke sejumlah tempat menggunakan transportasi umum, bukan taksi atau bus sewaan. ”Tujuannya untuk menguji pelayanan publik,” kata Saidah.
Sulitnya berada di ruang publik dialami para difabel pagi itu. Mereka tidak bisa keluar dari halte bus transjakarta karena halte itu tidak sepenuhnya menyediakan akses.
Beberapa petugas yang semula diam saja akhirnya menggotong satu per satu para tunadaksa agar bisa keluar dari halte. ”Kami sengaja tidak membantu rekan-rekan kami agar petugas terlatih untuk peka terhadap kondisi difabel,” kata Zola Chaniago, aktivis dari Komnas Perempuan.
Ilma Sovri Yanti dari Satgas Perlindungan Anak, mengatakan, jumlah difabel di Indonesia semakin meningkat. Berdasarkan Pendataan Program Perlindungan Sosial Badan Pusat Statistik, tahun 2009 terdapat 2,1 juta difabel dan tahun 2012 jumlahnya meningkat menjadi 3,84 juta. Dari jumlah itu, 438.900 difabel adalah anak-anak.