Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bebas dalam Kasih

Kompas.com - 30/03/2013, 02:33 WIB

Dari curiga, hati kita menjadi keras. Dan, kekerasan hati akan semakin memperkuat sikap negatif mereka yang dianggap lawan. Kita terbelenggu dalam lingkaran setan ketakutan, kecurigaan, dan kebencian yang dapat melibatkan kita dalam permusuhan dan kekerasan.

Dari Yesus kita boleh memperoleh keberanian untuk keluar dari lingkaran setan itu. Kita mengalami kebebasan hati orang yang bersikap baik terhadap siapa pun, termasuk terhadap musuhnya. Pepatah Jawa mengatakan dengan bagus, sing becik dibeciki, sing ala dibeciki (yang baik kita perlakukan dengan baik, yang tidak bersikap baik kita perlakukan dengan baik juga).

Dengan demikian, kita menjadi bebas. Kita tidak lagi terbelenggu otomatisme benci melawan yang membenci. Kita dapat berhadapan dengan siapa pun dengan hati yang baik. Kita menjadi bebas dari rasa-rasa yang membuat gelap hati kita, yang membuat kita keras, terbelenggu dalam kepicikan kita sendiri yang meracuni hati kita, dari belenggu dendam kesumat.

Kita tak lagi di bawah hukum ”gigi lawan gigi, mata lawan mata”. Sekarang kita mengerti kata Yesus: ”Siapa pun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu.” Sikap ini bukan tanda kelemahan, melainkan tanda kekuatan.

Tentu kita tidak selalu boleh ”memberikan pipi kiri” juga. Sikap ”menyerahkan pipi kiri” adalah tanda kebebasan kita dari hukum balas dendam.

Agar kebebasan itu mungkin, masyarakat-masyarakat dunia sejak ribuan tahun membangun struktur-struktur yang menunjang hubungan antarmanusia: segala macam adat istiadat, aturan sopan santun, hukum, peraturan dan norma, serta sistem peradilan yang bertugas menjamin keadilan. Melalui struktur itu, masyarakat mengatur agar pemukulan pipi tidak gampang terjadi, dan kalau terjadi agar ada cara penyelesaiannya. Karena itu, kita tentu boleh menuntut, seperlunya di depan pengadilan agar hak-hak kita itu dihormati.

Kita bahkan sering wajib membela diri karena kita tidak hidup sendirian. Dari kita bergantung orang lain, ruang kebebasan hidupnya, kita tidak boleh membiarkan mereka yang berada dalam tanggung jawab kita diperlakukan tidak adil.

Yang dapat diberikan oleh kegembiraan Paskah, kegembiraan bahwa cinta dan kebaikan menang atas kebencian dan kejahatan, adalah kebebasan hati mendalam yang tidak lagi tergerogoti nafsu kebencian gelap, yang dengan senyum kebaikan menawarkan pipi kiri untuk dipukul juga.

Suatu kebebasan hati dari keprihatinan terhadap diri sendiri, suatu kebebasan yang membuat kita juga bebas dari rasa resah. Bebas mencintai, bebas membuka hati, bebas mengharapkan biji kebaikan bahkan di hati mereka yang memusuhi kita.

Seperti ditulis seseorang yang mengalami pembaruan dalam harapan kebangkitan, ”Cinta buah kebangkitan itu sabar, murah hati, tidak cemburu. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Cinta percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu. Cinta tidak berkesudahan.”

Sepintas cinta macam itu kelihatan bodoh. Namun, kalau kita bersentuhan dengannya, kita tahu bahwa cinta itulah kekuatan yang sebenarnya.

Franz Magnis-Suseno SJ Guru Besar Emeritus Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com