Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ogoh-ogoh Karya Seni Harus Dibakar

Kompas.com - 09/03/2013, 23:04 WIB

Oleh I Ketut Sutika

Sosok raksasa berwajah menyeramkan, bertaring, mata melotot, lidah menjulur dan perut buncit dengan rambut gimbal  awut-awutan dilukiskan turun ke bumi menguasai Pulau Dewata pada malam Pengrupukan Senin (11/3), sehari menjelang Hari Suci Nyepi Tahun Baru Saka 1935.

Boneka raksasa dengan tinggi 3,5 sampai lima meter dan lebar dua meter itu merupakan salah satu dari ratusan bahkan ribuan ogoh-ogoh mirip sejenis boneka ondel-ondel di Jakarta, diarak keliling banjar, desa dan kota di Bali pada petang hingga malam peralihan tahun saka dari 1934 ke tahun baru saka 1935.

"Mahluk dunia ahirat"  menyerupai bentuk "bhutakala" itu, sejalan dengan makna hari "Ngerupuk" yakni mengusir roh jahat, menetralkan semua kekuatan dan pengaruh negatif "bhutakala" yaitu roh atau makluk khasat mata.

"Ogoh-ogoh itu setelah diarak seyogyanya dibakar (lebur) sehingga dunia beserta isinya diharapkan kembali bersih dan bebas dari segala gangguan makluk maupun roh jahat," tutur Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali, Dr I Gusti Ngurah Sudiana.

Anak-anak muda yang tergabung dalam wadah Sekaa Teruna-Teruni maupun sesama rekannya dalam satu pemukiman, atau desa adat (desa pekraman) di Bali secara gotong-royong membuat "ogoh-ogoh" dan berlomba-lomba menampilkan yang terbaik, unik dan menarik.

Pemilik Sanggar  Gabungan Anak Seni Serba Bisa (Gases) Denpasar, Bali, I Wayan Candra yang khusus melayani pembuatan ogohy-ogoh mengaku kebanjiran pesanan membuat ogoh-ogoh menjelang Nyepi.

Ia mengaku harus menyelesaikan 100 buah ogoh-ogoh yang dipesan berbagai pihak yang harus selesai dalam waktu bersamaan sebelum malam penggrupukan. Pemesan berasal dari Kota Denpasar, Klungkung, Buleleng, Tabanan dan Karangasem.

Jumlah pesanan yang diterima kali ini lebih sedikit dibandingkan dengan tahun sebelumnya mencapai 130 ogoh-ogoh.

Pihaknya sengaja membatasi pesanan ogoh-ogoh dengan harapan bisa mengontrol setiap pembuatan boneka raksasa yang dikerjakan anak buah dengan baik, tutur pria pensiunan PNS Taman Budaya Denpasar.

Harga ogoh-ogoh yang dikerjakan bervariasi antara Rp500 ribu hingga Rp12 juta per unit, tergantung pada ukuran dan bahan yang digunakan.

Awalnya sangat sederhana

Ogoh-ogoh awalnya sangat sederhana dibuat oleh anak-anak muda dalam lingkungan desa adat dengan menggunakan bahan lokal yang sangat sederhana. Ogoh-ogoh dari hal yang sangat sederhana, baik dalam bentuk maupun penampilan kini semakin berkembang.

Perkembangan kreativitas anak-anak muda itu diawali sekitar tahun 1989, saat Pesta Kesenian Bali (PKB), kegiatan tahunan seniman Pulau Dewata yang menampilkan arakan "ogoh-ogoh".

Kenyataan itu  oleh beberapa seniman memberikan inspirasi untuk mengembangkan peluang bisnis, karena tidak semua anak-anak muda di banjar sempat membuat ogoh-ogoh yang membutuhkan waktu cukup lama.

Semangat dan darah seni itu terus berkembang pada anak muda di kota Denpasar Kabupaten Badung dan tujuh kabupaten lainnya di daerah ini dalam pembuatan ogoh-ogoh, untuk diarak sehari menjelang hari suci Nyepi.

Pada malam penggrupukan kali ini 1.480  desa adat di Bali, baik di kota maupun pedesaan akan mengarak ogoh-ogoh keliling desa masing-masing.

Ketua Panitia Pelaksana Parade Ogoh-Ogoh Kota Denpasar I Komang Astita menjelaskan, Pemkot Denpasar menggelar lomba ogoh-ogoh di setiap desa adat dengan menyediakan hadiah yang cukup menarik.

Tim yang dibentuk telah mendatangi setiap balai banjar untuk menilai ogoh-ogoh yang dibuat oleh masyarakat banjar setempat. Kriteria penilaian meliputi tema, pesan, dan unsur seni pada setiap ogoh-ogoh.

Tim penilai memilih lima ogoh-ogoh yang berhak diikutkan pada parade malam Pengerupukan, sementara yang lainnya hanya melakukan arakan-arakan dalam lingkungan wilayah desa adat masing-masing, berkoordinasi dengan Polsek dan Polres setempat.

Kepolisian Resor Kota Denpasar untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan mengerahkan 1.234 personel untuk mengamankan pawai ogoh-ogoh dam rangkaian Hari Raya Nyepi, Tahun Baru Caka 1935.

Petugas itu dikerahkan mulai Sabtu (9/3) saat umat Hindu menggelar upacara "Melasti" atau upacara penyucian benda-benda sakral ke pantai dan sejumlah sumber mata air, hingga sehari setelah Hari Raya Nyepi pada Rabu (13/3).

Demikian pula Polres di delapan kabupaten lainnya di Bali juga melakukan antisipasi dan persiapan yang sama, sehingga rangkaian Hari Suci Nyepi dapat terlaksana dengan baik dan lancar.

Alihkan ke PKB

Ketua Program Studi Pemandu Wisata Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar Dr Drs I  Ketut Sumadi M.Par berpendapat, pawai atau arak-arakan ogoh-ogoh pada malam penggrupukan menjelang Nyepi itu ke depan bisa dialihkan untuk memeriahkan Pesta Kesenian Bali (PKB) yang digelar setiap tahun pada bulan Juni.

Pawai hasil kreativitas anak-anak muda itu sangat rawan terjadi bentrok antar pengusung ogoh-ogoh yang memicu terjadinya bentrok warga antarbanjar. Pertimbangan pengalihan waktu itu juga didasarkan atas rasa, karena pawai ogoh-ogoh yang dilakukan secara meriah, identik dengan menghibur diri untuk bersenang-senang.

Padahal saat itu umat Hindu mulai bersiap-siap melaksanakan Tapa Brata Penyepian, empat pantangan, salah satunya di antaranya amati lelanguan yakni tidak mengumbar hawa nafsu maupun tidak mengadakan  hiburan atau bersenang-senang.

Tiga pantangan lainnya meliputi amati geni (tidak menyalakan api), amati karya (tidak melakukan kegiatan) dan amati lelungan (tidak bepergian).

Pengalihan pawai ogoh-ogoh dari malam penggrupukan Nyepi sekaligus untuk menambah kesemarakan PKB, karena tidak akan mengurangi arti dan makna malam pengrupukan.

"Rangkaian kegiatan ritual untuk tingkat rumah tangga atau desa adat tetap dilaksanakan seperti selama ini, termasuk diantaranya yang disebut ’mebiu-biu’ pada waktu sandikala dengan sarana berupa sesajen, api dayuh (daun kelapa kering), air suci dan suara kulkul," tuturnya.

Dengan kegiatan ritual di tingkat rumah tangga yang sederhana seperti itu, seluruh anggota keluarga siap-siap untuk melaksanakan Tapa Brata Penyepian.

Jika pawai ogoh-ogoh selama ini terkesan menonjolkan kesenangan untuk menghibur diri, sehingga kurang pas, karena keesokan harinya melaksanakan empat pantangan dengan mengurung diri dalam rumah, ujar Ketut Sumadi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com