Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Korupsi di Sekitar Politisi

Kompas.com - 07/03/2013, 11:30 WIB
Stefanus Osa Triyatna

Penulis

KOMPAS.com - ”Saya orang DPR. Setelah nyemplung di sana, saya tahu sendiri sepak terjang partai politik. Demokrat bukan satu-satunya partai korup,” begitulah gaya blakblakan Permadi, mantan politisi PDI-P yang kini menjadi politisi di Partai Gerindra.

Tanpa tedeng aling-aling, Permadi tidak menampik Partai Gerindra pun tidak luput dari modus-modus korupsi. Permadi menyebutkan mulai dari yang recehan, seperti pemilihan fasilitas kelas penerbangan. Semestinya kelas bisnis, diubah menjadi ekonomi supaya anggaran bisa dikantongi.

Modus lain, ada anggota Dewan yang tugas ke luar negeri, tetapi tidak berangkat. Namun, uang tetap dicairkan untuk dikantongi. Mereka titip tanda tangan nota perjalanan dinas. Ada lagi modus memotong hari penugasan. Artinya, ditugaskan tujuh hari, tetapi hanya berangkat dua hari. ”Sekali lagi, uang dinas utuh selama tujuh hari, supaya bisa dikantongi,” ujar Permadi dalam diskusi Peluang dan Tantangan Menuju Indonesia Bebas Korupsi, Narkoba, dan Terorisme yang diselenggarakan Forum Masyarakat Katolik Indonesia bekerja sama dengan Wanita Katolik Republik Indonesia, di Jakarta, Sabtu (2/3).

Modus korupsi juga dilakukan sewaktu masa reses DPR. Anggota Dewan semestinya bertemu konstituen. Nyatanya, hanya Rp 2,5 juta saja yang dibagi-bagikan ke konstituen di daerah. Itu pun dibagikan oleh sopir. ”Sisanya, sekali lagi, dikantongi,” ujar Permadi.

Tak hanya di DPR, di kementerian pun tidak luput dari praktik korupsi. Permadi memberi contoh kementerian politisi. Kasus dugaan korupsi daging impor sapi yang melibatkan Presiden Partai Keadilan Sejahtera dan sejumlah pejabat di Kementerian Pertanian disebut sebagai contoh. Juga korupsi di Kementerian Agama.

Walau Partai Demokrat disebut bukan satu-satunya parpol korup, Permadi tetap menuding Susilo Bambang Yudhoyono selaku pendiri partai dan pembina Demokrat. Menurut dia, publik telah dibohongi. Lihat saja iklan ”Katakan Tidak pada Korupsi!”. Bintang iklannya adalah Angelina Sondakh dan Anas Urbaningrum. ”Seharusnya, SBY meminta maaf kepada publik karena telah khilaf menempatkan orang-orangnya dalam iklan,” ujar Permadi.

Korupsi, di mata anggota DPR dari Partai Hanura, Miryam Haryani, begitu gampang diketahui indikatornya. Ketika terlihat kesejahteraan masih rendah, kemiskinan tinggi, pengangguran membengkak, lapangan pekerjaan belum terbuka, dan biaya pengobatan mahal, itulah hancurnya kebijakan yang berpihak kepada rakyat. Korupsi masih terjadi di dalamnya.

Tak bisa mengelak

Politisi Partai Demokrat Ruhut Sitompul tidak bisa mengelak. Figur pemimpin Demokrat, Anas Urbaningrum, menjadi bahan pembicaraan yang dianggapnya memprihatinkan dan memalukan. Apalagi, menurut Ruhut, dalam kisah-kisah membuka ”halaman Anas” yang ditampilkan di media belakangan ini, Anas tampil bagai pahlawan. Tidak sedikit yang datang ke rumah Anas. Semua itu tidak lebih disebut Ruhut sebagai BHS alias barisan sakit hati.

”Tunggu saja. Kita mesti melihat jilid pertama yang menjadi kenyataan, yaitu kau (Anas) ditangkap. Jilid kedua, setelah dijadikan tersangka, masuklah penjara. Jilid ketiga, diproseslah menjadi terdakwa. Lalu, jilid keempat, kau menjadi terpidana. Yang jelas ancamannya 20 tahun penjara. Jilid kelima, masuklah ke penjara,” ujar Ruhut.

Dia mengaku, setahun lalu, Anas menyuruhnya membedah kasus mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin. Dibedah bagaimanapun, Anas tetap tersangkut sehingga dirinya memberanikan diri meminta Anas mundur.

Berbagai modus dan politisi yang tersangkut korupsi ini tak mengherankan di mata Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang. Cikal bakalnya dari perekrutan calon anggota legislatif.

”Partai hanya mengedepankan nafsu ingin menang dan berkuasa. Akibatnya, orang- orang yang punya popularitas dan uanglah yang dicalonkan. Menang dulu, persoalan mampu dan kompeten mewakili rakyat urusan belakangan. Akibatnya, boloslah menyuarakan aspirasi rakyat, tidak mampu bertahan menuntaskan undang-undang yang butuh waktu berjam-jam, dan jalan pintaslah ditempuh, lalu tergilincirlah di lembah korupsi,” ujar Sebastian.

Mendapati kondisi ini, tugas berat ada di Komisi Pemilihan Umum. Target KPU meningkatkan partisipasi Pemilu 2014 menjadi 75 persen dari 71 persen dalam Pemilu 2009. Mampu? (Stefanus Osa)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Suhu Udara Panas, BMKG: Indonesia Tak Terdampak 'Heatwave'

Suhu Udara Panas, BMKG: Indonesia Tak Terdampak "Heatwave"

Nasional
Jumlah Dokter Spesialis Indonesia Kecil Dibanding Negara ASEAN, Jokowi: Masuk 3 Besar Tapi dari Bawah

Jumlah Dokter Spesialis Indonesia Kecil Dibanding Negara ASEAN, Jokowi: Masuk 3 Besar Tapi dari Bawah

Nasional
Jokowi Sebut Minimnya Dokter Spesialis Kerap Jadi Keluhan Warga

Jokowi Sebut Minimnya Dokter Spesialis Kerap Jadi Keluhan Warga

Nasional
Bappenas Integrasikan Rencana Pemerintah dengan Program Kerja Prabowo

Bappenas Integrasikan Rencana Pemerintah dengan Program Kerja Prabowo

Nasional
BMKG Sebut Udara Terasa Lebih Gerah karena Peralihan Musim

BMKG Sebut Udara Terasa Lebih Gerah karena Peralihan Musim

Nasional
Disebut Sewa Influencer untuk Jadi Buzzer, Bea Cukai Berikan Tanggapan

Disebut Sewa Influencer untuk Jadi Buzzer, Bea Cukai Berikan Tanggapan

Nasional
Profil Eko Patrio yang Disebut Calon Menteri, Karier Moncer di Politik dan Bisnis Dunia Hiburan

Profil Eko Patrio yang Disebut Calon Menteri, Karier Moncer di Politik dan Bisnis Dunia Hiburan

Nasional
PDI-P Bukan Koalisi, Gibran Dinilai Tak Tepat Konsultasi soal Kabinet ke Megawati

PDI-P Bukan Koalisi, Gibran Dinilai Tak Tepat Konsultasi soal Kabinet ke Megawati

Nasional
Jokowi Resmikan Program Pendidikan Dokter Spesialis Berbasis Rumah Sakit

Jokowi Resmikan Program Pendidikan Dokter Spesialis Berbasis Rumah Sakit

Nasional
Bawaslu Papua Tengah Telat Masuk Sidang dan Tak Dapat Kursi, Hakim MK: Kalau Kurang, Bisa Dipangku

Bawaslu Papua Tengah Telat Masuk Sidang dan Tak Dapat Kursi, Hakim MK: Kalau Kurang, Bisa Dipangku

Nasional
Sengketa Pileg di Papua Tengah, MK Soroti KPU Tak Bawa Bukti Hasil Noken

Sengketa Pileg di Papua Tengah, MK Soroti KPU Tak Bawa Bukti Hasil Noken

Nasional
Dilema Prabowo Membawa Orang 'Toxic'

Dilema Prabowo Membawa Orang "Toxic"

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi soal Kabinet ke Megawati, Pengamat: Harus Koordinasi dengan Prabowo

Gibran Ingin Konsultasi soal Kabinet ke Megawati, Pengamat: Harus Koordinasi dengan Prabowo

Nasional
Soal Kabinet Prabowo-Gibran, Pengamat Ingatkan Bukan Sekadar Bagi-bagi Kekuasaan

Soal Kabinet Prabowo-Gibran, Pengamat Ingatkan Bukan Sekadar Bagi-bagi Kekuasaan

Nasional
Sidang Perdana Praperadilan Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Digelar Hari Ini

Sidang Perdana Praperadilan Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Digelar Hari Ini

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com