Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berebut Distrik, Warga Ribut di Parlemen

Kompas.com - 20/02/2013, 02:19 WIB

Jakarta, Kompas - Pemerintah Kabupaten Tambrauw berebut distrik dengan Pemerintah Kabupaten Manokwari dan Pemerintah Kabupaten Sorong di Provinsi Papua Barat. Ketiganya memperebutkan lima distrik yang diputus Mahkamah Konstitusi masuk ke Tambrauw.

Kelima distrik yang diperebutkan itu adalah Amberbaken, Kebar, Senopi, dan Mubrai, yang sebelumnya masuk ke Manokwari, serta Kwoor, yang sebelumnya masuk ke Kabupaten Sorong.

Menurut Gubernur Papua Barat Abraham Octovianus Atururi, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR, Selasa (19/2), pembentukan Kabupaten Tambrauw diatur dalam Undang- Undang Nomor 56 Tahun 2008 dengan enam distrik.

Namun, tahun 2009, MK memutuskan wilayah Tambrauw menjadi 11 distrik. MK memutuskan menambahkan lima distrik baru ke wilayah Tambrauw. ”Saya tidak pernah tahu siapa yang memasukkan ini, bupati dan DPR juga tidak tahu,” katanya.

Bupati Manokwari Bastian Sanabai menambahkan, Pemkab Manokwari tidak akan melepas empat distrik ke Tambrauw seperti putusan MK. Alasannya, UU No 56/2008 mengatur, wilayah Tambrauw tidak mencakup empat distrik di wilayahnya. Selain itu, keempat distrik tersebut juga masih menggunakan APBD Manokwari dan menolak bergabung dengan Tambrauw.

Pemkab Manokwari menolak melaksanakan putusan MK karena, menurut mereka, pemohon uji materi atas UU No 56/2008 menggunakan identitas palsu.

Bupati Sorong Stepanus Malak juga mengatakan, Pemkab Sorong tidak pernah dilibatkan dalam sidang di MK. ”Kami belum pernah diundang, padahal kami kabupaten induk,” ujarnya.

Bupati Tambrauw Gabriel Assem bersikukuh melaksanakan putusan MK. ”Selaku bupati, kami melaksanakan putusan MK dan wajib hukumnya,” katanya.

Ia mengatakan, kelima distrik juga bersedia bergabung dengan Tambrauw saat pilkada tahun 2012. Pemkab Tambrauw meminta DPR dan pemerintah memberikan payung hukum, yakni menyesuaikan UU No 56/2008 dengan putusan MK.

Wakil Ketua Komisi II Ganjar Pranowo menegaskan, pihaknya tidak akan gegabah mengambil keputusan dengan mengecek kembali dokumen politik dan putusan MK. Dia mempertanyakan, mengapa putusan MK tahun 2009 baru dipersoalkan saat ini.

Sebelum rapat, terjadi keributan antarwarga yang datang ke Komisi II. Keributan berawal dari pernyataan beberapa orang yang membuat tersinggung kelompok lain. Mereka saling teriak, berkejaran, dan saling memukul. Keributan berhenti setelah petugas pengamanan kompleks parlemen melerai.

Menurut Juru bicara MK Akil Mochtar, kasus itu bermula ketika lima kepala suku dari Tambrauw mengajukan uji materi atas Pasal 3 Ayat (1) dan Pasal 5 Ayat (1) UU No 56/2008 yang mengatur tentang wilayah dan batas-batas wilayah Tambrauw.

”Tambrauw itu suku sendiri, punya wilayah adat hukum sendiri. Kalau digabung ke Manokwari dan Sorong, hak politik, ekonomi, sosial, dan budayanya tidak terakomodasi,” ujar Akil. (NTA/ANA)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com