Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bangkitnya Kawula Muda Perambah Hutan

Kompas.com - 12/02/2013, 03:39 WIB

Suhartono

Bertahun-tahun, anak-anak muda di Dusun Loncek, Desa Telukbakung, Kecamatan Sungaiambawang, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, tak punya harapan. Namun, setelah Kelompok Tani Muda Palambon Pucuk Baguas hadir di sana pada Oktober 2011, harapan pun berbinar.

Sebelum Kelompok Tani Muda Palambon Pucuk Baguas (KTM-PPB) terbentuk Oktober 2011, sebagian anak muda keturunan Dayak Selako itu terjebak dalam permainan tongkok atau judi China. Mereka juga gemar mabuk-mabukan. Padahal, sehari-hari mereka cuma penoreh karet atau perambah hutan. Sebagian juga berdagang dan jadi buruh di Pontianak, Kalimantan Barat.

Dusun Loncek bisa disebut daerah terisolasi. Meskipun berjarak hanya sekitar 75 kilometer dari Kota Pontianak, baru ada jalan tanah untuk menuju dusun itu. Posisinya diapit tujuh bukit, di antaranya Loncek, Buliatn, Buluh, dan Jahanang. Infrastruktur itu baru dibangun tahun 2009 menjelang masuknya perkebunan sawit. Sebelumnya, jalan satu-satunya untuk masuk dan keluar dusun hanya lewat sungai di Dusun Loncek.

Dari pinggir jalan trans-Kalimantan, jaraknya masih 20 kilometer lagi untuk menuju Dusun Loncek. Jalan lainnya lewat perkebunan sawit yang berjarak 15 kilometer, tetapi harus meminta izin petugas.

Bagi mereka memang tak ada pilihan. Sebab, mereka hanya tamatan sekolah dasar atau paling tinggi sekolah menengah pertama (SMP). ”Waktu itu kami tak punya harapan. Uang hasil tebang pohon atau menoreh karet habis untuk tongkok atau minum arak,” kata Herman (24), warga Dusun Loncek, tamatan SMP, saat ditemui Kompas, akhir Januari lalu.

Herman merupakan salah satu dari puluhan anak-anak muda di Dusun Loncek yang menggantungkan hidupnya dari menebang pohon atau penoreh karet. Setelah masuk pengusaha perkebunan mengonversi hutan mereka hingga ribuan hektar pada tahun 2010, hidup mereka semakin sulit.

”Dari puluhan anak muda Dusun Loncek, hanya satu dua yang diterima kerja. Itu pun hanya jadi buruh atau petugas satuan pengamanan. Jadi, kami teruskan merambah hutan,” kata Herman. Setelah sawit masuk, lahan hutan jelas semakin terbatas dan produksi kayu juga menyusut.

Hal itu dibenarkan Laurensius Edi (26), warga Dusun Loncek, yang kini menjadi fasilitator lapangan untuk Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Peduli yang diselenggarakan Yayasan Pemberdayaan Pefor Nusantara (YPPN) bekerja sama dengan Partnership, sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Jakarta. YPPN adalah LSM di Pontianak.

Seperti halnya Herman, Edi juga pernah kehilangan harapan. Meskipun diterima di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Tanjungpura, Pontianak, Edi sama sekali tidak mampu membiayai kuliahnya. ”Selain merambah hutan, saya juga berdagang daging untuk biaya kuliah, tetapi sering habis untuk tongkok atau minum-minum,” katanya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com