Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pulau Rote, Merana di Beranda Selatan

Kompas.com - 02/02/2013, 03:39 WIB

Marice Bessy (45) mengumpulkan kayu bakar di pekarangan rumahnya. Sudah hampir tiga bulan ini ia memasak di dapur tanpa menggunakan kompor minyak. Cuaca ekstrem membuat pasokan bahan bakar ke daerah ini tersendat. KORNELIS KEWA AMA

Marice adalah tulang punggung keluarga. Suaminya, Tony Sula (49), sejak empat tahun lalu mendekam di penjara Australia atas tuduhan melanggar batas wilayah negara saat menangkap ikan. Jadilah keluarga nelayan itu timpang.

Tanggung jawab menghidupi keluarga diemban sendiri oleh Marice. Tiga putranya tidak lagi melanjutkan pendidikan. Mereka adalah Godlif Sula (16), Gideon Sula (14), dan Sela Sula (9). Untunglah Godlif dan Gideon terpanggil untuk bekerja membantu Marice di ladang. Adapun Sela membantu Marice memberesi rumah.

Tadinya keluarga itu membudidayakan rumput laut. Hasilnya lumayan, bisa sampai Rp 1 juta per bulan, cukup untuk beli beras sebulan dan belanja kebutuhan lain.

”Tetapi, pasca-pencemaran Laut Timor, akibat tumpahan minyak di perairan Australia pada 2010, rumput laut membusuk, tidak bisa dipanen,” kata Marice.

Hasil ladang pun tidak menjanjikan karena hujan tidak menentu. Satu-satunya sumber hidup yang masih diandalkan adalah nira lontar, hasil sadapan Godlif, putra tertua Marice dan Tony. Namun, nira hanya untuk konsumsi setiap hari, tidak bisa dijual untuk menghasilkan uang.

Pulau Rote dalam sejumlah literatur disebut juga Roti. Pada zaman raja-raja, pulau itu memiliki 20 kerajaan, atau orang Rote menyebutnya nusak. Nusak-nusak ini kemudian dilebur ke dalam enam kecamatan (1969) dan bergabung dengan Kabupaten Kupang. Namun, tahun 2002, Rote menjadi daerah otonom dengan delapan kecamatan.

Luas wilayah Rote Ndao 1.280,10 kilometer persegi dengan jumlah penduduk 116.874 jiwa. Sebelah utara berbatasan dengan Laut Sawu, selatan dengan Samudra Hindia. Timur dengan Tanjung Pukuafu, dan sebelah barat Pulau Sabu. Mata pencarian penduduk adalah petani, nelayan, dan penyadap (lontar).

Sebagian besar warga di beranda terselatan NKRI ini tidak paham tentang Indonesia. Informasi tentang Indonesia harus diperoleh melalui pesawat televisi berparabola.

Satu desa dengan jumlah penduduk 217 keluarga hanya memiliki 2-3 pesawat televisi berparabola. Televisi antena rumah (biasa) tidak dapat menerima siaran. Setiap petang sekitar pukul 18.00, saat listrik dihidupkan (pukul 18.00-06.00), puluhan warga berjubel di depan televisi, mengikuti informasi di media televisi itu.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com