Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Maulid Politik Kenabian

Kompas.com - 23/01/2013, 01:52 WIB

Inilah sisi kekuatan politik kenabian: politik karakter. Nilai-nilai kenabian seperti ini, meminjam telaah Mohandas K Ganda, dapat menghindarkan tujuh dosa sosial: politik nir-prinsip; kekayaan yang diraih tidak melalui kerja keras; bisnis defisit moralitas; kebahagiaan yang kehilangan nurani; pendidikan yang menanggalkan karakter; ilmu pengetahuan yang jauh dari humanitas; dan peribadatan yang terjebak pada formalitas.

Dalam melebarkan pengaruh politiknya, Nabi membangun basis dukungan yang solid tanpa harus menafikan yang ”liyan”, seperti terbaca dalam Piagam Madinah yang populer itu. Visi yang ditawarkannya berbasis pada upaya menanamkan kesadaran ontologis (menyangkut tujuan hidup) sekaligus aksiologis (berhubungan dengan peran dan posisi manusia).

Untuk direnungkan

Merenungkan politik nilai yang diusung Muhammad SAW hari ini—seperti tergambarkan dalam kitab-kitab ”kelahiran Nabi”, seperti Maulid Jawahir al-Nazm al-Badi’ Fi Maulid al-Syafi’ karya Syeikh Yusuf al-Nabhani, Kitab al-Yumnu Wa al-Is’ad Bi Maulid Khar al-’Ibad karya Ibn Ja’far al-Kattani, Itmam al-Ni’mah ’Ala al-’Alam Bi Maulid Saiyidi Waladi Adam karya Ibn Hajar Al-Haitami, dan al-Maulid al-Hana ditulis al-Hafiz al-Iraqi—bukan hanya perlu, melainkan satu keniscayaan.

Relevansinya itu terletak justru ketika kita hari ini lebih mengedepankan politik citra ketimbang logika, eksploitasi bukan emansipasi, ingar-bingar oleh semangat kebendaan bukan hikmat ketulusan, gaduh oleh politik perkauman yang serba eksklusif-intoleran bukan siasat kesemestaan yang berangkat dari roh kebersamaan.

Medan kehidupan harus dikembalikan lagi kepada nilai-nilai keutamaan. Slavoj Zizek (Robertus Robet, 2010) menyebutnya dengan ”yang politik” (politik penuh adab) sebagai lawan dari ”politik” (ricuh, dagang sapi, tanpa prinsip, transaksional, penuh cela, korup, munafik).

Meminjam analisis Hannah Arendt, ”yang politik” menghajatkan pergulatan agar tak hengkang dari percaturan sosial dan ruangnya keburu diisi oleh ”politik” yang serba kotor. Pergulatan ini bukan hanya ikhtiar menghindar dari sekapan keterasingan positif ala dialektika Hegel, keterasingan ekonomi serupa Marx yang bersumber dari sentimen kapitalisme, ataupun keterasingan religius berwujud wacana absolut keterlemparan kepada dosa. Namun, kita berkelit dengan cermat dari ”keterasingan eksistensial” berupa abainya kita mewujudkan keadaban publik dan politik penuh adab karena hilangnya kita sebagai pribadi politik yang otonom, otentik, merdeka, dan independen sesuai dengan arus khitahnya.

”Yang politik” seharusnya jadi kiblat utama politik nasional dalam menghadapi tahun-tahun politik menjelang 2014. Politik kenabian dalam titik tertentu memberikan suplai berharga tentang ”yang politik” itu.

Maulid adalah momen penting untuk menginjeksikan segenap nilai-nilai dalam sesuatu yang banyak berpengaruh bagi kelangsungan hidup kita: politik! Tanpa kesadaran ini, semua hanya sebatas menjadi sebuah upacara dan akhirnya politik kembali menjadi muslihat yang licik.

ASEP SALAHUDIN Esais dan Dekan di IAILM Pesantren Suryalaya Tasikmalaya, Jawa Barat

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com