KENDARI, KOMPAS -
”Melihat fakta itu, Teluk Kendari bisa dibilang dalam kondisi ’sakit parah’,” kata Kepala Bappeda Sultra Nasir Andi Baso, Senin (14/1).
Volume sedimentasi sebesar itu setara dengan muatan 2,2 juta truk berkapasitas 25 meter kubik. Tingginya sedimentasi mempercepat laju pendangkalan teluk. Sedimentasi di antaranya berasal dari 13 sungai yang bermuara ke Teluk Kendari.
Untuk mengatasi masalah itu, Pemprov Sultra meminta rekomendasi DPRD agar bisa menyusun revitalisasi dan reklamasi. ”Harus segera dilakukan pengerukan. Kalau tidak, teluk bisa menghilang dan berubah jadi daratan. Bahkan, ada beberapa bagian teluk yang dikapling warga karena sudah menjadi daratan,” ujar Nasir.
Namun, Nasir mengakui biaya pengerukan itu mencapai Rp 2 triliun. Ini tidak mungkin ditanggung APBD. ”Karena itu, pilihan yang memungkinkan yakni menjalin kerja sama dengan pihak ketiga. Sudah banyak yang berminat,” ujarnya.
Ketua DPRD Sultra Rusman Emba menyatakan segera menggelar rapat bersama pemprov terkait masalah ini. DPRD menjadwalkan rapat itu pada 17 Januari nanti. ”Hal ini mendesak untuk diselesaikan,” ujarnya.
Sementara itu, lebih dari 100 warga lingkar tambang menutup pintu masuk perusahaan tambang emas PT Meares Soputan Mining dan PT Tambang Tondano Nusa Jaya di Desa Rinondoran dan Desa Wineru, Kecamatan Likupang Timur, Minahasa Utara, Senin (14/1). Mereka memprotes kerusakan lingkungan.
Kerusakan lingkungan terjadi di sejumlah wilayah laut lingkar tambang, seperti Laut Rinondoran dan Batu Putih. Banyak nelayan terpaksa jadi tukang karena ikan tak ada lagi di laut mereka. Air laut berwarna keruh diduga akibat pencemaran tambang.
Petrus, juru bicara pendemo, meminta bantuan PT MSM dan TTN transparan. Namun, Inyo Rumondor dari Humas PT MSM menilai, warga dimobilisasi oknum yang tak puas dengan kehadiran PT MSM, padahal tuntutan warga telah dipenuhi.