Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Industri TPT Kian Tertekan

Kompas.com - 09/01/2013, 02:09 WIB

Jakarta, Kompas - Kenaikan upah minimum serta tarif tenaga listrik akan semakin menekan daya saing industri tekstil dan produk tekstil dalam negeri di tahun 2013. Kenaikan tersebut berdampak pada semakin tingginya harga jual produk industri dalam negeri sehingga kian sulit bersaing dengan produk impor.

Demikian Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudradjat saat menyampaikan refleksi 2012 dan proyeksi 2013 di Jakarta, Selasa (8/1).

”Tanpa ada kenaikan saja kami harus berjibaku menghadapi persaingan dengan produk impor, apalagi sekarang ditambah ada kenaikan upah dan tarif listrik,” kata Ade.

Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Indonesia terintegrasi dari hulu sampai hilir. Industri hulu dimaksud antara lain pembuat serat, pembuat benang, pembuat kain, dan termasuk industri pencelupan. Industri hulu ditandai struktur biaya dengan konsumsi energi cukup tinggi.

Adapun industri hilir berupa industri pakaian jadi atau garmen. Industri ini ditandai dengan struktur biaya upah buruh yang tinggi.

API memperkirakan kenaikan upah dan energi akan mendongkrak harga jual produk hingga 16,7 persen. Ini dengan catatan kenaikan listrik industri serat, benang, dan kain naik 18 persen, serta garmen dan tekstil lainnya naik 21,5 persen.

Khusus untuk industri serat dan benang juga ditambah kenaikan harga gas. Selain itu juga dengan catatan kenaikan upah rata-rata minimal 30 persen.

Kenaikan upah dan energi akan mengakibatkan daya saing harga produk industri dalam negeri akan kalah dibandingkan produk impor.

Ade menuturkan, neraca ekspor impor produk TPT rata-rata masih surplus 5 miliar dollar AS. Namun, ada tendensi nilai surplus ini semakin tahun semakin kecil.

”Hal ini karena konsumsi domestik lebih banyak diisi barang impor. Porsi penguasaan pasar domestik makin kecil karena biaya yang timbul di industri domestik meningkat, sedangkan di luar negeri biaya tersebut tidak meningkat bahkan turun,” katanya. (CAS)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com