Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kreativitas Tenun Ikat

Kompas.com - 22/12/2012, 05:38 WIB

OLEH KORNELIS KEWA AMA

Pemanfaatan tenun ikat dari Nusa Tenggara Timur terus berkembang. Selain untuk seragam dan tas, juga dibuat menjadi sepatu. 

Bahan dasar sepatu tetap karet, tetapi pada bagian atas menggunakan tenun ikat. Sepatu dari tenun ikat ini merambah sejumlah hotel dan pusat kerajinan di beberapa kabupaten di Nusa Tenggara Timur.

Perpaduan antara pakaian dan sepatu dari tenun ikat tampak serasi. Kesatuan motif tenun ikat disesuaikan dengan selera konsumen. Sebelumnya, tenun ikat hanya dijahit menjadi kemeja, jaket, jas, rok, celana panjang, tas, dompet, taplak meja, hiasan dinding, atau syal.

Alaudin Kamaludin (51), saat ditemui di Kelurahan Namosaen, Kota Kupang, Oktober lalu, mengatakan, pemanfaatan kain tenun ikat menjadi sepatu diperkenalkan pada 2007. Saat itu panitia Pentas Paduan Suara Gerejawi asal Nusa Tenggara Timur (NTT) di Manado meminta Alaudin membuat sepatu dari tenun ikat bermotif sesuai dengan pakaian peserta.

Dari sini usaha membuat sepatu dari tenun ikat terus menggeliat. Kelompok paduan suara, koor, studi banding dari NTT, mahasiswa, atau perkumpulan organisasi tertentu selalu menggunakan sepatu yang juga serasi dengan warna dan motif baju atau celana.

Jika ada pejabat negara, duta besar, dan tamu kehormatan yang berkunjung ke NTT, pihak panitia atau pemerintah daerah memesan sepatu tenun ikat. Ada dua merek sepatu yang dihasilkan, yakni Tirai untuk perempuan dan Kitora untuk laki-laki.

”Belum lama ini Pemprov memesan dua pasang, sepasang untuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan satu pasang lagi untuk Ny Ani Yudhoyono saat menghadiri Yubilium 100 Tahun Gereja Katolik di Manggarai. Sejumlah pejabat negara yang berkunjung ke NTT juga selalu mendapatkan sepatu kain tenun ikat ini,” kata Alaudin.

Pria kelahiran Lamakera, Flores Timur, 12 April 1951, ini menuturkan, prospek usaha sepatu dari tenun ikat cukup menjanjikan. Sejumlah hotel di Kota Kupang, Kefamenanu, Atambua, Manggarai, Labuan Bajo, Ende, dan Maumere memesan sepatu atau sandal tenun ikat ini. Jumlahnya bervariasi 50-200 pasang. Sepatu dipajang sebagai cendera mata khas NTT. Adapun sandal untuk keperluan para tamu yang menginap di hotel.

Alaudin mengakui kesulitan melayani permintaan sandal dari hotel. Tidak mudah membuat sandal dalam jumlah ratusan pasang dalam waktu 20-30 hari karena ia masih mengerjakan secara manual.

”Kalau ada format sesuai ukuran kaki manusia, mulai dari kecil, sedang, sampai terbesar, tentu saya kerjakan dalam waktu singkat. Berapa pun permintaan tetap terlayani terutama permintaan sandal di hotel-hotel. Keragaman corak tenun ikat NTT mendorong pihak hotel ikut mempromosikan melalui sandal ini,” kata Alaudin.

Harga satu pasang format sepatu dari berbagai ukuran adalah Rp 200.000. Format itu tidak tersedia di Kupang, kecuali di Surabaya. Ia membutuhkan 6-7 format dengan ukuran berbeda. Alaudin kesulitan modal untuk mendatangkan format sepatu.

Dengan cara manual, ia hanya mengerjakan 2-3 pasang sepatu per hari, sedangkan sandal 4-5 pasang per hari. Mulai dari pengukuran, pemotongan bahan, hingga penyelesaian dikerjakannya sendiri. Sekitar 30 pasang sepatu dipajang di rumahnya sebagai contoh bagi konsumen yang datang.

Tak ada modal

Sejak 2005, Alaudin mengajukan permohonan bantuan ke sejumlah instansi pemerintah, tetapi tidak dilayani. Beberapa staf instansi justru meminta bagian jika bantuan dikucurkan. Ia pun menolak mendapatkan bantuan dengan cara yang tak semestinya.

Alaudin tidak patah arang. Dia terus berupaya mengajarkan sesama orang NTT bagaimana memanfaatkan sumber daya yang ada untuk membangun daerahnya. Menghasilkan sesuatu dari usaha dan jerih payah pribadi jauh lebih membahagiakan daripada mendapat dukungan dana pemerintah, tetapi kemudian melahirkan masalah karena korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Puluhan ruang pamer tenun ikat di Kota Kupang, Kefamenanu, dan Ende memesan sepatu khas buatan Alaudin. Harga sepatu mulai Rp 300.000 hingga Rp 500.000 per pasang. Sepatu ini dapat dipadukan dengan baju, rok, atau celana, bahkan topi berbahan tenun ikat. Tenun ikat untuk sepatu diambil dari jenis berkualitas. Sepatu juga dilapisi kulit sintetis sehingga lebih tahan lama dan tidak mudah basah saat kena air.

Suami dari Lilis Sutisno ini mengatakan, pihak Timor Leste sudah memesan sepatu jenis ini, tetapi belum sempat terlayani. Ia kesulitan alat pemotong dan format sepatu. Semua dilakukan manual sehingga butuh waktu cukup lama.

Bahan dasar sepatu berupa karet didatangkan dari Surabaya. Namun, khusus sandal hotel dibuat sendiri di Kupang karena diambil dari jenis karpet tebal yang lembut. Bagian atas sandal berupa kain tenun ikat yang dibeli dari petenun Rp 25.000 per kain.

Syal sepanjang 100 sentimeter (cm) dan lebar 10 cm bisa menghasilkan dua pasang sepatu atau sandal.

Biaya produksi satu pasang sandal Rp 75.000, sedangkan sepatu Rp 100.000 per pasang. Sandal dijual dengan harga Rp 80.000 per pasang, sedangkan sepatu dijual Rp 125.000-Rp 300.000 per pasang. Jika ada alat potong, harga sandal menjadi Rp 40.000- Rp 50.000 per pasang.

Ayah dari Fitri, Taufik, Ayu, Iqbal, dan Rifki ini dibantu empat pekerja. Upah pekerja Rp 300.000 per bulan, belum termasuk uang transportasi dan makan setiap hari.

”Kalau mereka punya keahlian atau minimal bisa mengerjakan setengah jadi, lalu saya finishing, tentu saya gaji sesuai upah minimum Kota Kupang, yakni Rp 830.000 per bulan. Namun, keterampilan mereka ini nol, diajari pun sulit. Mereka drop out dari SMP dan SMA. Saya hanya membantu mereka,” ujarnya.

Alaudin belajar keterampilan membuat sepatu di Sidoarjo, Jawa Timur, pada 1994-1995. Ia membiayai sendiri pelatihan selama satu tahun di Sidoarjo.

”Saya sedang mendesain agar kulit luar spring bed atau sofa dari kain tenun ikat. Tentu ini harus diupayakan agar kualitas terjaga. Soal spring bed dan sofa, disesuaikan dengan selera konsumen,” kata Alaudin.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com