Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pabrik Sepatu Kena Imbas Aksi Buruh

Kompas.com - 02/11/2012, 03:35 WIB

Jakarta, Kompas - Pabrik sepatu bermerek global terkena imbas unjuk rasa buruh menuntut penghapusan sistem kerja alih daya. Proses produksi sepatu seperti Adidas, Nike, dan Bata pun terganggu meski mereka mengklaim tidak memakai pekerja alih daya sesuai syarat pemilik merek.

Hal itu disampaikan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi, Ketua Apindo Anton J Supit, dan Ketua Dewan Pembina Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Harijanto di Jakarta, Kamis (1/11). Mereka menyesalkan sikap aparat kepolisian yang mengabaikan aksi anggota serikat buruh yang melanggar ketentuan undang-undang.

”Kalau mereka tidak bisa berproduksi dan harus relokasi ke luar negeri, kita yang rugi. Investor sepatu, kalau sudah pindah, akan sulit ditarik kembali sehingga pemerintah harus serius mengatasi masalah penegakan hukum yang sangat lemah belakangan ini,” ujar Sofjan.

Para duta besar negara anggota Uni Eropa di Indonesia, dalam pertemuan dengan Kompas di Jakarta, Kamis, juga mempertanyakan bagaimana aksi buruh ini bisa terus berjalan tanpa ada penyelesaian. Mereka mengakui, aksi buruh ini akan sangat memengaruhi kondisi investasi di Indonesia.

Khawatir tiga hal

Kalangan pengusaha pun mengkhawatirkan tiga hal. Pertama, ketidakpastian hukum. Kedua, kenaikan upah minimum tidak sesuai mekanisme pengupahan yang ada. Ketiga, penegakan hukum atas perusakan, intimidasi, dan penyanderaan terhadap karyawan dan manajemen pabrik.

Ribuan buruh dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI), dan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) pimpinan Andi Gani Nena Wea bergabung dalam Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI). Mereka berunjuk rasa di sejumlah kawasan industri di Jawa Barat dan Banten menuntut penghapusan pekerja alih daya (outsourcing), penetapan upah minimum sesuai angka kebutuhan hidup layak, dan iuran jaminan kesehatan pekerja ditanggung pemberi kerja.

Harijanto menjamin pabrik- pabrik sepatu yang berorientasi ekspor tidak menggunakan pekerja alih daya sesuai dengan persyaratan pemilik merek yang memesan.

”Hal-hal yang menyangkut pemenuhan hak pekerja sangat diperhatikan dalam kontrak kerja dan mereka selalu mengirim orang untuk mengecek langsung ke pabrik-pabrik untuk memastikan berjalan,” kata Harijanto.

Upah pekerja

Menurut data Aprisindo, upah pekerja sepatu di Indonesia saat ini 1,03 dollar AS (Rp 9.888) per jam. Adapun upah pekerja di China 0,91 dollar AS (Rp 8.736) per jam, Vietnam 0,46 dollar AS (Rp 4.416) per jam, dan Kamboja 0,29 dollar AS (Rp 2.784) per jam.

Secara umum, upah pekerja pabrik sepatu di Tangerang, Banten, untuk 40 jam kerja seminggu kini rata-rata 179 dollar AS (Rp 1,71 juta) per bulan. Pekerja pabrik sepatu dengan 40 jam kerja seminggu di Qingyuan, China, menerima upah 159 dollar AS (Rp 1,52 juta) per bulan dan pekerja di Ho Chi Minh, Vietnam, menerima 95 dollar AS (Rp 912.000) per bulan.

”Upah pekerja kita sudah tidak murah lagi karena, dari sisi produktivitas, pekerja China bisa menghasilkan sepatu dua kali lebih banyak dari di Indonesia. Kami minta pemerintah tidak berlebihan menetapkan kenaikan upah minimum karena biaya buruh sepatu kini sudah 25 persen dengan margin 5 persen. Sisanya 60 persen bahan baku dan 10 persen lagi biaya overhead,” kata Harijanto.

Kondisi ini membuat pengusaha sepatu resah karena ribuan buruh tetap mendatangi pabrik mereka dan memaksa pekerja ikut berunjuk rasa. Pabrik Harijanto yang mempekerjakan 10.000 orang saja dua kali berhenti berproduksi karena unjuk rasa itu.

Satu pabrik yang mempekerjakan 80.000 pekerja pun tidak luput dari aksi tersebut. Pabrik berhenti produksi akibat sedikitnya 6.000 anggota serikat buruh memaksa masuk ke pabrik.

Sofjan menegaskan, dia sudah mengumpulkan sedikitnya 200 pengusaha dari berbagai kawasan industri di DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten. Para pengusaha mengeluhkan aksi buruh yang memblokade pabrik dan menyandera pekerja.

Menurut sejumlah pengusaha, pengunjuk rasa melarang buruh hamil dan buruh yang menyusui bayi keluar dari pabrik. Mereka menyesalkan sikap aparat kepolisian yang membiarkan saja hal ini terjadi.

Hal ini membuat penduduk di sekitar pabrik bersama sejumlah kepala desa dalam Masyarakat Bekasi Bergerak di Kabupaten Bekasi menyerang anggota serikat buruh untuk membubarkan aksi blokade pabrik-pabrik. Aksi yang dituding buruh dibiayai pengusaha ini dikhawatirkan memicu konflik horizontal.

Presiden KSPI Said Iqbal, yang juga Presidium MPBI, mengatakan, ada satu laporan mengenai buruh perempuan hamil yang tidak bisa keluar di PT JST di kawasan industri MM2100, Cibitung, Bekasi. Menurut Iqbal, pengunjuk rasa justru sudah membiarkan buruh perempuan pulang, tetapi manajemen mengunci pabrik dari dalam karena takut massa masuk.

Iqbal mengaku belum pernah menerima laporan ada penggerebekan pabrik yang tidak menggunakan pekerja alih daya atau kontrak waktu tertentu melanggar undang-undang. Hal ini terjadi seperti di pabrik Samsung dan pabrik tekstil di Bekasi, serta pabrik Bata di Purwakarta.

Iqbal mencontohkan, pekerja pabrik sepatu Bata berstatus kontrak dengan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) melebihi ketentuan. ”Ada pekerja yang berstatus PKWT sampai enam tahun,” ujar Iqbal.

Akibat pemblokadean pabrik, manajemen Bata menutup pabrik. Manajemen akan mengumumkan rencana mereka selanjutnya pada Jumat (2/11), apakah kembali bekerja atau tutup tanpa batas waktu.

Industri padat karya

Sikap pemerintah dan polisi dalam menghadapi tekanan massa sangat mengecewakan pengusaha. Pabrik sepatu termasuk industri padat karya yang mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar.

Setiap investasi satu pabrik sepatu bernilai 100 juta dollar AS (Rp 960 miliar), bisa menyerap sedikitnya 10.000 pekerja langsung dan 40.000 pekerja tidak langsung.

Harijanto mengatakan, industri sepatu merek global baru pulih dalam dua tahun terakhir setelah terganggu beberapa kasus investor kabur tahun 2005-2006. Indonesia pun kini masuk tiga besar produsen sepatu merek terkenal dunia bersama Vietnam dan China.

Industri sepatu tersebut mempekerjakan sedikitnya 500.000 orang. ”Industri sepatu hanya memiliki waktu lima minggu sejak menerima pesanan sampai pemesan menerima barang tersebut. Gangguan produksi sehari saja sudah sangat mengganggu dan akhirnya selisih keuntungan yang ada habis untuk biaya mengirim barang menggunakan pesawat supaya tidak terkena penalti,” kata Anton.(HAM/DEN/ETA/CAS/PPG)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com