Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketika Sapi dan Kambing Jadi Katup Pengaman

Kompas.com - 24/10/2012, 03:01 WIB

Setiap kali menjelang Idul Adha, harga ternak sapi dan kambing meningkat tajam dibandingkan dengan hari biasa. Kenaikan harga sapi siap potong berkisar Rp 2 juta hingga Rp 3 juta per ekor. Begitu juga harga kambing naik Rp 300.000 hingga Rp 500.000 per ekor. Sayangnya, kenaikan harga ternak tidak selalu dinikmati peternak.

Di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, misalnya. Harga sapi limosin yang biasanya Rp 5 juta, saat ini bisa laku terjual Rp 7 juta, atau bahkan Rp 9 juta per ekor. ”Namun, jika dihitung-hitung dengan besarnya biaya operasional petani untuk mencari pakan hijauan bagi ternak, kenaikan harga saat ini tidak berarti terlalu banyak, hanya menutupi biaya yang dikeluarkan,” ujar Irfa’i, Sekretaris Desa Caruban, Kabupaten Temanggung.

Musim kemarau selalu menjadi masa sulit bagi petani di Kecamatan Kandangan, termasuk Desa Caruban. Selain sulit mencari pakan ternak, petani pun mengalami kesulitan ekonomi karena aktivitas bertani mereka terpaksa berhenti.

Untuk menyikapi kondisi alam tersebut, bulan lalu, Sukarmat (40), warga Desa Caruban, mengaku terpaksa ”membongkar celengan” alias menjual delapan ekor kambing peliharaannya. Pilihan tersebut terpaksa diambilnya untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang mendesak.

Sukarmat mengaku menjual ternak adalah upaya terakhir yang harus dilakukannya untuk mencukupi kebutuhan hidup, setelah 7.000 meter persegi sawah miliknya tidak lagi bisa diandalkan karena mengalami kekeringan dalam enam bulan terakhir ini.

”Saya tidak punya pilihan lain kecuali menjual ternak. Kebutuhan keluarga, terutama untuk biaya sekolah anak-anak, sudah mendesak dipenuhi, sementara pada musim kemarau ini, saya tidak punya tambahan penghasilan dari sawah,” ujarnya.

Jika biasanya hanya berlangsung tiga bulan, musim kemarau kali ini berdampak signifikan bagi petani karena berlangsung hingga enam bulan.

Padahal sawah tadah hujan seluas 7.000 meter persegi miliknya biasanya mampu menghasilkan 3,5 kuintal gabah kering panen (GKP). Sebagian gabah biasanya dijual dan sebagian biasanya digiling menjadi beras untuk kebutuhan keluarganya sendiri.

Sukarmat memiliki dua anak. Salah satunya sedang menempuh pendidikan di sekolah tinggi dan seorang lainnya masih duduk di bangku kelas tiga SD. Untuk mencukupi kebutuhan mereka, Sukarmat berharap, minggu ini, kambingnya akan laku terjual dengan harga Rp 800.000 per ekor.

Menjual ternak

Ngateri (42), warga Desa Kandangan, Kecamatan Kandangan, mengatakan, upaya menjual ternak terpaksa dilakukannya karena saat ini, dia bahkan sudah kesulitan untuk mencukupi kebutuhan rumah tangganya. ”Saat ini, pengeluaran untuk makan sehari-hari saja membengkak dari biasanya karena stok gabah di rumah sudah habis dan kami terpaksa harus membeli beras,” ujarnya.

Ngateri, yang memiliki sawah seluas 1.800 meter persegi, biasanya mampu menuai panen dua kuintal GKP. Namun, karena sejak Agustus stok gabah sudah habis, dia kini terpaksa membeli beras dengan harga Rp 7.500 hingga Rp 8.000 per kilogram.

Sebelumnya, Ngateri memiliki sembilan ekor ternak kambing dan kini tinggal enam ekor karena tiga ekor kambingnya telah laku terjual Rp 1,3 juta.

Menurut Irfa’i, selain menjual ternak, sebagian warga kini bahkan juga menjual sawahnya yang kini tidak bisa digarap karena mengalami kekeringan.

”Selain untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, hasil menjual tanah tersebut biasanya digunakan sebagai modal untuk memulai usaha atau bekal merantau dan mencari pekerjaan di daerah lain,” ujarnya.

Pihak Pemerintah Desa Caruban mencatat, saat ini ada lima warga Desa Caruban yang telah memberi tahu akan menjual tanah sawah. Kekeringan membuat sekitar 55 hektar dari 70 hektar sawah di Desa Caruban dibiarkan menganggur dan 15 hektar lainnya yang ditanami tembakau dan palawija mengalami gagal panen.

Amin Yahya, Kepala Desa Malebo, Kecamatan Kandangan, mengatakan, krisis air dan kekeringan pada musim kemarau ini, membuat 60 persen dari 121 hektar lahan sawah di Desa Malebo dibiarkan menganggur.

Krisis ini berdampak luas, yakni mengubah mata pencarian masyarakat Desa Malebo, yang sebelumnya mayoritas bertani, saat ini terpaksa beralih pekerjaan demi mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Ada yang menjadi buruh bangunan, pedagang barang bekas, dan pedagang berbagai barang kebutuhan rumah tangga. (EGI)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com