Beirut, Jumat -
Pemicu munculnya sumber titik panas itu adalah aksi pemberangusan rezim Presiden Suriah Bashar al-Assad terhadap warga non-Alawite. Hal ini, di sisi lain, memicu eksodus bagi warga Sunni, Kristen, dan Yahudi ke negara-negara tetangga Suriah, seperti Turki, Irak, Lebanon, Jordania, dan Israel. Sebenarnya, semua subetnis di Suriah hidup dalam kerukunan selama ini.
Dalam perkembangan terbaru, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Kamis, mengecam tindakan penembakan dengan mortir dari Suriah ke wilayah Turki, yang dibalas dengan dua kali serangan dari Turki ke wilayah Suriah. Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon di New York, Amerika Serikat, meminta negara di kawasan mengambil sikap untuk menahan diri.
Meski demikian, titik rawan tetap bisa membesar jika ketidakstabilan di Suriah berlanjut. Tak ada negara yang menginginkan kawasan berkembang menjadi titik panas yang dipicu 18 bulan pemberontakan prodemokrasi di Suriah. Akan tetapi, prahara di Suriah akan mudah menjerumuskan kawasan ke ”api” yang membesar.
Turki menuduh Suriah menggunakan pejuang Partai Pekerja Kurdistan di Turki (PKK) untuk mengacaukan stabilitas di Turki.
Turki juga memiliki wilayah dengan mayoritas berpenduduk Kurdi yang tidak akur dengan Ankara.
”Tidak ada negara-negara yang berbatasan dengan Suriah yang tidak merasa terancam dengan prahara di Suriah,” kata Aram Nerguizian dari The Center for Strategic and International Studies, di Washington DC, AS.
Selama aksi pemberontakan di Suriah, selongsong peluru dan pecahan mortir sudah mendarat di sepanjang perbatasan Suriah dengan negara tetangga. Kondisi di Irak juga memanas akibat tekanan terhadap Sunni di Suriah yang melawan Assad.