Jakarta, Kompas
Desakan tersebut disampaikan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan di Kantor Imparsial, Jakarta, Selasa (25/9). RUU Kamnas direncanakan akan dibahas hari Rabu ini oleh Panitia Khusus Kamnas DPR. Padahal, dalam catatan Imparsial, RUU Kamnas ini telah ditolak oleh Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Hati Nurani Rakyat.
Koalisi ini terdiri dari Imparsial, Kontras, YLBHI, IDSPS, Elsam, ICW, LBH Jakarta, LBH Masyarakat, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), HRWG, Ridep Institute, Setara Institute, dan Lespersi.
Direktur Program Imparsial Al Araf menjelaskan, RUU Kamnas tampaknya dikembalikan pemerintah ke parlemen tanpa ada sedikit pun perubahan. Dengan kondisi ini, koalisi melihat tidak ada itikad baik dari pemerintah untuk melakukan perubahan atas sejumlah catatan dari pansus, bahkan pemerintah sepertinya memiliki agenda-agenda tersembunyi untuk mengesahkan tindakan arogansinya di masa depan, terutama menghadapi Pemilu 2014.
”Kalau RUU Kamnas ini diterima pansus untuk dibahas kembali, kita sebagai rakyat bisa melihat sikap inkonsistensi pansus. Kita patut mencurigai adanya transaksi politis yang sesungguhnya menjadi ’senjata makan tuan’ sendiri bagi parlemen,” kata Araf.
Menurut Araf, parlemen yang membahas dan membentuk undang-undang, serta berlawanan pandangannya dengan pemerintah, dapat juga dikategorikan sebagai bentuk ancaman keamanan nasional. Alasannya, parlemen bisa dikategorikan telah dikonsepsional dalam perumusan legislasi dan regulasi.
Koalisi mencermati ada lebih kurang 25 pasal dan ayat yang bermasalah dalam RUU Kamnas. Ada nuansa sekuritisasi atau versi ekstrem dari politisasi. Sekuritisasi berada di titik persilangan antara implementasi demokrasi oleh pemerintahan dan tindakan otoriter untuk menyelesaikan masalah. Nuansa sekuritisasi dapat dilihat dari pemberian kewenangan khusus penangkapan dan penyadapan kepada TNI dan Badan Intelijen Negara (penjelasan Pasal 54 Huruf e