Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Insiden Itu Tak Mengusik Ketenangan Solo

Kompas.com - 02/09/2012, 03:47 WIB

Rangkaian aksi penembakan selama dua pekan terakhir di Solo, Jawa Tengah, tidak mengusik ketenangan warga. Suasana kota budaya itu tetap tenteram, tidak terpengaruh aksi teror, termasuk insiden ”dar-der-dor” antara polisi dan tersangka teroris yang disiarkan televisi, Jumat (31/9) malam.

Suparno (46) alias Geger, pemilik gerai telepon seluler di kompleks pertokoan Matahari Singosaren, Solo, Jumat dan Sabtu, sudah kembali beraktivitas seperti biasa. Jumat malam, dia sempat dimintai keterangan oleh polisi sampai subuh. Namun, kini, ia sudah melanjutkan usahanya tanpa merasa tegang.

Saat kejadian penembakan di Pos Polisi Singosaren yang menewaskan Brigadir Kepala Dwi Data Subekti (54), Suparno berada sekitar 15 meter dari lokasi kejadian. Setelah mendengar suara letusan empat kali, ia melihat pelaku penembakan berjalan dengan santai sambil memasukkan senjata ke dalam pakaiannya dan kembali ke sepeda motor yang dikendarai rekannya.

Namun, saat itu, fokus Suparno adalah bagaimana menolong polisi yang akrab disapa Pak Data itu. Data selama ini kerap membeli pulsa atau aksesori telepon seluler di gerainya. Dia lalu menghentikan sebuah sedan warna merah dan meminta pengemudinya membawa korban ke rumah sakit sesegera mungkin.

”Saya melihat Pak Data sudah meninggal saat itu. Tapi, sekarang, ya, seperti biasa lagi. Tidak ada trauma, tidak takut atau bagaimana, biasa saja. Hidup harus terus berjalan, kan,” ujar Suparno.

Jumat pagi, aktivitas di kota berpenduduk 530.000 jiwa ini tetap normal. Kegiatan transaksi di kompleks pertokoan Matahari Singosaren berjalan seperti biasanya. Toko-toko dan rumah makan di sekitarnya juga buka. Demikian pula para pedagang kaki lima.

Hanya tiga toko yang berada di sebelah kiri pos polisi tampak tertutup dari luar karena kawasan itu berada dalam garis polisi. Namun, di bagian dalam, pengelola toko beraktivitas.

Sarwanto (40), petugas parkir yang turut menyaksikan kejadian Kamis malam, juga tetap berjaga mengatur parkir sepeda motor di Matahari Singosaren. ”Kalau tidak kerja lagi, siapa yang menjaga motor-motor ini,” tuturnya.

Para sukarelawan pengatur lalu lintas (supeltas), yang membantu polisi mengatur lalu lintas, menyampaikan rasa belasungkawa kepada polisi yang bertugas di Kepolisian Sektor Serengan itu. Ketua paguyuban supeltas, Kartolo (40), mengaku, rasa takut pasti ada, tetapi hal itu tidak memengaruhi aktivitasnya.

”Kami tetap bertugas mengatur lalu lintas seperti biasa dan menyerahkan semuanya kepada Allah. Yang pasti, kami berharap tidak ada lagi kasus seperti ini. Kasihan yang menjadi korban,” katanya.

Di rumah duka korban penembakan di Perumahan Ngringo, Kelurahan Ngringo, Kecamatan Jaten, Karanganyar, keluarga tampak mencoba tegar. Istri Dwi Data, Niken Sri Parawani (54), meski terkadang menangis, tetap mampu bercerita dengan lancar kepada siapa saja tamu yang datang.

”Doakan saya, ya, supaya bisa menguliahkan anak bungsu saya sampai lulus meskipun saya kini harus berjuang tanpa Bapak,” ujar guru SMP Negeri 14 itu. Dwi Data meninggalkan tiga anak, Gupta Andika Pratama (28), Arya Dwi Wardhana (26), dan Hani Tri Prajaduta (19).

Niken berharap kejadian serupa tidak terulang kembali. Pihak keluarga menyerahkan kasus itu sepenuhnya kepada pihak kepolisian untuk dituntaskan. Namun, dia mengaku tidak ada dendam terhadap pelaku penembakan yang menewaskan suaminya.

”Sebelum kejadian, Bapak beberapa kali cerita, Plaza Singosaren diserang. Dia sampai pernah tiduran di bawah becak agar tidak kelihatan sebagai petugas kepolisian,” ujar Niken.

Di kompleks perumahan, Dwi Data adalah Ketua RT 010 RW 22. Terakhir kali, saat memimpin rapat untuk kegiatan 17 Agustus, salah seorang warga, Slameto (65), mengungkapkan, Dwi Data mengimbau warga waspada serta meningkatkan kerukunan dan keamanan lingkungan.

Teror tersebut merupakan yang ketiga kalinya menimpa Solo. Sebelum Lebaran, dua kali orang tak dikenal menyerang pos pengamanan (pospam). Jumat (17/8) dini hari, pospam Lebaran di Gemblegan, Kecamatan Serengan, ditembak orang tak dikenal, yang mengakibatkan dua polisi terluka. Sehari kemudian, giliran pospam Lebaran di Gladak dilempar granat.

Wali Kota Solo Joko Widodo menyatakan tak mau berprasangka apa pun atas kejadian itu. Ketika ditanya apakah peristiwa itu berkaitan dengan ajang Pemilu Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta, Jokowi mengatakan, ”Mudah-mudahan ini tidak ada kaitannya. Kalau ada, sangat keterlaluan dan tidak berperikemanusiaan.”

Jokowi heran karena beberapa peristiwa yang sebelumnya tak pernah terjadi selama tujuh tahun terakhir tiba-tiba muncul dalam waktu berdekatan. Kasus dengan modus hampir sama juga kembali terjadi, sementara dua kasus sebelumnya belum juga terungkap.

Jokowi yang sempat memantau aktivitas warga Solo mengatakan, teror yang terjadi tiga kali itu tidak memengaruhi aktivitas warga. Semua bekerja seperti biasa. Pasar dan pertokoan tetap buka. Pusat keramaian juga tetap dipenuhi warga.

Meskipun ketiga teror itu menyasar hal yang sama, yaitu pospam kepolisian, Kepala Kepolisian Daerah Jateng Didiek S Triwidodo belum dapat menyimpulkan ketiga kejadian itu memiliki keterkaitan satu sama lain. Dia berharap masyarakat tidak terprovokasi. ”Saya lihat warga Solo masih tenang-tenang saja, masyarakat sangat berani. Tidak ada suasana mencekam,” ujar Didiek.

Sosiolog dari Universitas Negeri Sebelas Maret, Solo, Drajad Trikartono, mengungkapkan, masyarakat saat ini tidak panik, tetapi mulai sadar dengan apa yang terjadi.

”Tiga kejadian berturut-turut dengan derajat yang semakin tinggi, sasarannya jelas, menyasar aparat penegak hukum. Masyarakat akan bertanya-tanya, ada apa dengan ini semua?” ujarnya.

Masyarakat juga mulai mengait kejadian itu dengan hal-hal lain, seperti Pilkada DKI Jakarta, pengalihan isu korupsi yang melibatkan anggota kepolisian, dan spekulasi lain.

Karena itu, menurut Drajad, harus ada penyelesaian kasus atau setidaknya penjelasan terhadap masyarakat mengenai apa yang terjadi. Tak kalah penting, harus ada langkah konkret untuk menyelesaikan masalah agar tidak muncul beragam anggapan yang tak produktif.

Agar masyarakat tidak terusik dan terus bertanya, polisi harus secepatnya mengungkap rangkaian kasus tersebut.

Meski tergolong kota kecil, Solo seolah menjadi barometer berbagai isu nasional. Kota yang dikelilingi tiga kabupaten—Boyolali, Sukoharjo, dan Karanganyar—ini sejak dulu menjadi magnet bagi sejumlah tokoh nasional. Hampir semua calon presiden/wakil presiden menjadikan kota ini sebagai tempat kampanye strategis. Semasa

Orde Baru, aktivitas Presiden Soeharto dan Ibu Tien Soeharto lekat dengan Solo.

Pekan Olahraga Nasional I digelar di kota ini pada tahun 1948. Di sinilah berdiri Persatuan Guru Republik Indonesia dan tempat wartawan Indonesia berkongres untuk pertama kalinya.

Bisa jadi faktor geopolitik itu membuat Solo sebagai tempat mencari perhatian untuk aksi teror. Untunglah, warga berpikir arif dan dewasa. (UTI/SON)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com