Sittwe, Kompas
Kondisi itu terekam dalam kunjungan Ketua Umum Palang Merah Indonesia Jusuf Kalla dan Asisten Sekretaris Jenderal Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) Atta El-Mannan, Sabtu (11/8) petang, di Sittwe, ibu kota Rakhine, seperti dilaporkan wartawan Kompas,
Kalla mengunjungi dua kamp pengungsi, yakni kamp Bagan yang dihuni etnis Arakan, penduduk asli Rakhine, dan kamp Thet Kay Pyin yang menampung etnis Rohingya. Konflik selama dua hari pada Juni lalu yang melibatkan kedua kelompok itu menyebabkan lebih dari 70 orang tewas dan 60.000 orang kehilangan tempat tinggal.
Hujan turun dengan lebat ketika rombongan tiba di kamp pengungsi. Dialog dengan korban berlangsung singkat karena terhambat cuaca buruk. Para korban dan petugas menjelaskan, hujan lebat disertai kabut sudah berlangsung selama satu pekan, menyebabkan tenda kemasukan air atau tergenang air.
Seorang ibu rumah tangga
Kalla mengoordinasikan rencana penyaluran bantuan dengan Ketua Palang Merah Qatar Gahnim Al Mahdeed, Htay, dan Manan. Bantuan direncanakan dalam jangka pendek, menengah, dan panjang, mulai dari bantuan pangan, medis, hingga rekonstruksi atau permukiman kembali.
Menurut Htay, Pemerintah Myanmar membuka pintu seluas-seluasnya kepada lembaga kemanusiaan asing untuk membantu korban konflik di Rakhine. Pemerintahan Presiden Thein Sein juga menjamin keamanan para relawan dan kelancaran distribusi bantuan.
Htay bahkan mempersilakan lembaga bantuan kemanusiaan asing masuk hingga ke lokasi konflik, dan mendistribusikan bantuan kepada korban. Harus disadari, konflik terjadi bukan karena pertikaian kelompok agama, dan bantuan itu juga
Kalla menegaskan, pihaknya berharap Pemerintah Myanmar segera memulai proses rehabilitasi dan rekonstruksi. Berdasarkan pengalamannya menyelesaikan konflik Ambon dan Poso, program tanggap darurat tidak boleh lebih dari enam bulan. Sebab akan menimbulkan persoalan psikologis dan kesehatan.
Ia juga menegaskan, hal terpenting yang harus dilakukan adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat kedua pihak. ”Di masa depan tidak perlu ada konflik semacam ini,” ujarnya.
Htay mengaku, pihaknya kewalahan menghadapi dampak kerusuhan sosial ini. Kemampuan finansial pemerintah untuk rekonstruksi dan rehabilitasi juga terbatas. Myanmar membutuhkan bantuan kemanusiaan dari dunia internasional.