Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pasar Tumpah

Kompas.com - 11/08/2012, 02:59 WIB

Sungguh tak habis pikir mendengar pasar tumpah selalu saja disudutkan. Seolah-olah tidak ada satu pun manfaat positif dari kehadiran pasar tumpah. Bahkan, dikesankan pasar tumpah adalah aib bagi suatu daerah.

Padahal, pasar—sebagai wahana berkumpulnya pembeli dan penjual—merupakan pusat aktivitas ekonomi di suatu daerah. Jika perlu, jumlah pasar justru digandakan karena perannya sebagai salah satu motor penggerak pertumbuhan daerah.

Dengan demikian, sungguh disayangkan jika, pada masa arus mudik Lebaran ini, pasar tumpah masih dicitrakan secara negatif. Bahkan, pasar tumpah masih menjadi tertuduh utama, yang menghambat kelancaran arus mudik.

Dapatkah pasar tumpah dibenahi? Tentu saja meski terkadang justru ditempuh jalan pintas untuk melenyapkan pasar tumpah. Tahun 2004, misalnya, pemerintah meresmikan jalan layang Pamanukan di jalur pantura Jawa Barat sepanjang 810 meter.

Setelah jalan layang beroperasi, simsalabim, tidak lagi terjadi kemacetan di Pamanukan. Namun, kesan yang muncul belakangan adalah Pamanukan seolah ”terhapus” dari peta. Jalan layang malah membuat pelintas ”melompati” Pamanukan.

Berapa biaya pembangunan jalan layang Pamanukan? Ternyata besar, mencapai Rp 68,3 miliar. Bagaimana jika dana sebesar itu dikelola pemimpin daerah seperti Joko Widodo (Wali Kota Solo)—yang terbukti mampu mengelola pedagang kaki lima dan pasar tradisional? Boleh jadi, takkan mewujud dalam bentuk jembatan beton.

Atas nama pemberdayaan ekonomi lokal, sungguh indah jika uang itu, misalnya, justru dimanfaatkan untuk membenahi pasar tumpah. Hal ini harus dipikirkan oleh Patrol, Tegalgubung, atau pasar-pasar tumpah lain, yang malah ingin ”dilompati” jembatan layang.

Pertama-tama, para pedagang harus dipersuasi untuk mundur dari ruang milik jalan. Lalu uang yang tersedia dimanfaatkan untuk menata tata ruang Pamanukan dan membuat tempat parkir yang luas, jika perlu merenovasi pasar tradisional sehingga lebih representatif.

Buah apa yang dipetik dari penataan pasar tumpah tersebut? Pasar, yang tidak lagi ”tumpah” ke jalan, akan mampu dijadikan etalase produk daerah. Jika kota Brebes mampu menata kios-kios di tepi jalan pantura, misalnya, itu justru lebih menarik pelintas untuk singgah membeli telur asin atau bawang merah.

Jika Pasar Tegalgubung di Kabupaten Cirebon mampu menata pasarnya lebih menarik, boleh jadi pelintas juga berminat singgah dan berbelanja pakaian di sana. Hal ini jauh lebih baik daripada Pasar Tegalgubug itu hanya selalu dicaci-maki oleh pelintas karena kemacetan hingga beberapa kilometer.

Soal pendanaan sesungguhnya tidak harus selalu dipikirkan sebab fleksibilitasnya sangat tinggi dan, jika proposal meyakinkan, mampulah untuk mendatangkan investor. Yang dibutuhkan adalah pemimpin daerah yang benar-benar mampu dan mau untuk memimpin perubahan. Pasar tumpah, tegasnya, bukan persoalan transportasi, melainkan ketidakmampuan daerah menata ruangnya. (HARYO DAMARDONO)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com