Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 04/08/2012, 10:39 WIB

Oleh Indira Permanasari

Vincit qui patitur. Guratan kata itu tertanam di lengan Fajar Jasmin (35) sejak setahun lalu. Tato itu tertangkap mata saat Fajar membuka pintu rumahnya di bilangan Kelapa Gading, Jakarta, pekan lalu. Pemilik tangan itu bertubuh kurus. Namun, wajah putihnya segar, menyungging senyum.

Yang berani menderita akan menang. Ini mengingatkan saya untuk terus berani dan bertahan hidup,” ujar Fajar melirik torehan di lengannya. Pekan itu, di Washington DC, Amerika Serikat, sedang berlangsung Konferensi AIDS Internasional Ke-19.

Istrinya, Leonnie Flora (35), ikut duduk menemani Fajar di ruang tamu berdesain minimalis serba putih. Peribahasa Latin itu mewujud dalam hidup pasangan itu saat mendapati Fajar terinfeksi HIV/AIDS.

Dunia mereka berubah lima tahun lalu. Fajar terserang diare parah selama dua minggu. Dia terpaksa berhenti bekerja sebagai copy writer di perusahaan periklanan. Dokter tak mendapati masalah pada pencernaan Fajar. Ia kemudian menyarankan tes HIV. Februari 2008, Fajar dipastikan terinfeksi HIV.

”Waktu itu, yang terpikir langsung adalah anak dan istri,” kata Fajar. Dia menikah dengan Leonnie tahun 2004. Mereka dikaruniai tiga anak berusia 7 tahun, 6 tahun, dan 4,5 tahun. Fajar baru bernapas lega saat mengetahui hasil tes istri dan anak-anaknya negatif HIV.

Semula Leonnie shock dengan hasil tes suaminya. Namun, sarjana seni rupa itu tak mau terkubur kesedihan.

Terbuka

Sejak awal, pasangan itu memutuskan terbuka dengan status positif HIV Fajar. Mereka kemudian mengumpulkan keluarga terdekat. ”Dalam pertemuan itu, Fajar menjelaskan kondisinya. Ibunya menangis mendengar berita itu,” kata Leonnie.

Ada sanak keluarga yang bertanya, ”Dulu saya pernah berbagi gelas sama kamu, itu tidak apa-apa?” Fajar memaklumi. ”Saya jelaskan, HIV tidak menular lewat berbagi gelas, bertukar pakaian, atau sekadar tinggal di tempat sama,” tutur Fajar.

Fajar pun menjelaskan kepada keluarga besarnya bahwa penularan HIV terjadi, antara lain, lewat berhubungan seks tanpa kondom, penggunaan alat cukur bersama, transfusi dengan darah terinfeksi, dan pemakaian jarum atau alat tajam tidak steril.

Kasus HIV ada di Indonesia sejak tahun 1987 dan gencar disosialisasikan. Namun, pemahaman dan penerimaan terhadap orang dengan HIV/AIDS kerap tertutup kabut stigma. Orang menarik cerita ke belakang, apa yang dilakukan pada masa lalu sampai seseorang terinfeksi HIV. Padahal, lebih baik memberi kesempatan orang yang bersangkutan memeriksakan diri, berobat, dan hidup bertanggung jawab untuk tidak menularkan kepada orang lain.

Fajar tak menutupi statusnya dari rekan kerja. Dia kembali bekerja setelah 1,5 tahun memulihkan kesehatan. Kini, Fajar menjadi editor-in-chief media Iklim Karbon, tercatat sebagai anggota Delegasi Republik Indonesia untuk Negosiasi Perubahan Iklim United Nations Framework Convention on Climate Change tahun 2010, dan berkarya di Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan.

”Saya beruntung teman-teman kerja menerima. Satu-dua orang datang bertanya, saya malah senang,” kata sarjana psikologi itu. Itu berbeda dengan cerita yang dia dengar saat berkumpul dengan orang lain yang terinfeksi HIV. Mereka umumnya masih mendapat penolakan di tempat kerja, di lingkungan, bahkan oleh tenaga medis.

Namun, jalannya tidak selalu mulus. Keterbukaan Fajar menjadi bumerang saat mendaftarkan anaknya ke sekolah dasar swasta tahun lalu. Sekolah itu batal menerima anaknya karena keberatan dari sejumlah orangtua murid.

Ironisnya, penolakan itu tepat pada Hari AIDS Sedunia yang jatuh tiap 1 Desember. ”Mereka meminta hasil tes sebagai bukti anak saya tidak terinfeksi. Itu sama dengan diskriminasi. Anak saya negatif HIV. Anak yang positif pun tak boleh ditolak,” lanjut Fajar.

Fajar berpendapat, lebih baik pihak sekolah tahu statusnya dan ada jaminan tidak ada diskriminasi pada kemudian hari.

Keterbukaan Fajar menciptakan dialog di komunitas bakal sekolah anaknya. Sempat diadakan lokakarya HIV/AIDS di sekolah itu. Proses yang menyakitkan itu akhirnya berbuah manis. Anaknya diizinkan menempuh pendidikan di sekolah itu.

”Jika orang dengan HIV terus menutup diri, situasi ini tidak akan selesai,” ujarnya. Mereka kehilangan kehidupan bukan semata karena penyakit, melainkan akibat tekanan sosial. Orang akan enggan memeriksakan status HIV dan tanpa sadar menularkan. Nyatanya, sampai saat ini stigma tak mudah dihilangkan, bahkan oleh pengobatan antiretroviral yang mulai mengubah perjalanan HIV/AIDS.

Bertahan lama

Pemberian obat antiretroviral menjadi program pemerintah sejak tahun 2004. Sebanyak 25.817 orang di Indonesia telah mendapatkan pengobatan sampai awal tahun 2012.

Prof Samsuridjal Djauzi dari Unit Pelayanan Terpadu HIV RSUPN Cipto Mangunkusumo/FKUI mengatakan, obat antiretroviral mencegah replikasi virus hingga tidak terdeteksi dalam darah. Perjalanan penyakit terhambat dan angka kematian menurun. Bahkan, dengan kontrol ketat dokter, pasangan dengan HIV yang mendambakan keturunan bisa melahirkan anak sehat.

”Orang dengan HIV yang berobat dan menjaga kesehatan sangat mungkin hidup sampai tua. Ada yang hidup sehat selama 18 tahun dengan obat antiretroviral,” kata Samsuridjal.

Kini, HIV makin terkendali dengan obat antiretroviral. ”Gangguan ini menjadi seperti penyakit kronis lain, misalnya hipertensi atau diabetes, yang butuh meminum obat secara teratur ,” kata Janto Lingga, mentor manajemen klinis HIV dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yang juga mantan Ketua Pokja HIV/AIDS di RS Penyakit Infeksi Sulianti Saroso. Bedanya, obat antiretroviral tidak menyembuhkan dan pengidap tetap bisa menularkan HIV.

Fajar mulai menggunakan evapiren dan duviral tahun 2009. Obat itu diminum setiap 12 jam. Agar tak lupa, Fajar memasang alarm di telepon selulernya. Sebulan sekali dia berkonsultasi ke RSUPN Cipto Mangunkusumo, mengambil obat, dan mengecek jumlah virus.

Dia menjaga agar Leonnie tak terinfeksi. ”Sekalipun virus tidak terdeteksi dalam darah, saya selalu menggunakan kondom saat berhubungan,” ungkapnya.

Leonnie pun rajin tes HIV setiap enam bulan. ”Sampai hari ini saya negatif,” ujarnya.

Leonnie bertekad tetap sehat dan rasional menghadapi HIV dalam keluarganya. Apalagi, anak-anaknya membutuhkan perhatian. Sudah sebulan Leonnie keluar dari pekerjaannya di sebuah yayasan dan kini berbisnis makanan.

Berawal dari membuat kue antialergi tanpa gluten, susu, telur, dan gula untuk putra sulungnya, kini Leonnie menerima pesanan makanan khusus itu. Sore itu, ruang tamu rumah mereka yang difungsikan sebagai ”pabrik” dipenuhi harum kue mangkuk cokelat.

Fajar pun tak kalah bersemangat. Dia berupaya hidup teratur, mulai dari makan, beristirahat, dan berolahraga. Perawatan kesehatan penting agar tidak muncul penyakit infeksi lain dalam tubuh orang dengan HIV, mengingat kekebalan tubuh mereka terganggu.

”Saya ingin menjadi ayah yang baik bagi anak-anak saya bertahun-tahun lagi,” ujar Fajar.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com