Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menanam Pohon, Merawat Pulau

Kompas.com - 03/08/2012, 02:49 WIB

Oleh KORNELIS KEWA AMA

Sejauh mata memandang hanya rimbunan pohon. Itulah gambaran hasil kearifan lokal di Pulau Adonara, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Beragam tanaman menjanjikan rasa aman bagi warga. Pohon kemiri, cokelat, dan mangga, misalnya, mampu menjaga lingkungan dari ancaman longsor.

Sentra tanaman perkebunan hampir merata di seluruh daratan pulau itu, khususnya Kecamatan Wotan Ulumado, Adonara Tengah, Adonara Barat, dan Kecamatan Kelubagolit. Potensi perkebunan di pulau terpencil seluas 65 kilometer persegi itu didukung dengan kehadiran puluhan sungai, anak sungai, dan daerah aliran sungai.

Jenis tanaman yang sudah lama dibudidayakan adalah kopi, kemiri, kelapa, pinang, cengkeh, cokelat, pisang, nangka, dan mangga. Adapun pohon yang baru dikembangkan tahun 1990-an antara lain rambutan, salak, cempedak, lengkeng, durian, dan vanili.

Di pulau dengan jumlah penduduk sekitar 120.000 jiwa dan tersebar di tujuh kecamatan itu tidak pernah terjadi kebakaran atau pembakaran lahan seperti yang terjadi di pulau lain di Nusa Tenggara Timur (NTT). Masyarakat setempat sadar pembakaran dan kebakaran merugikan mereka. Paling tidak mengancam keberadaan tanaman perkebunan.

Kepala Desa Demondei, Kecamatan Wotan Ulumado, Flores Timur, Wenseslaus Woda (42), di Demondei, Minggu (15/7), mengatakan, seluruh kawasan hutan sudah berubah menjadi wilayah tanaman perkebunan. Masyarakat sendiri menyadari betapa pentingnya menanam tanaman perkebunan.

”Selain menghijaukan lingkungan sekitar, juga bermanfaat meningkatkan kesejahteraan ekonomi rumah tangga warga,” katanya.

Nafkah warga setempat bergantung pada tanaman perkebunan, selain hasil merantau. Pada bulan Juni-September ini adalah musim panen kopi, cokelat, cengkeh, dan pinang. Bulan Oktober-Desember nanti panen kemiri. Adapun kelapa, pisang, dan buah-buahan lain dipanen tanpa kenal musim.

Tanah ”berpakaian”

Tahun 1970-an di sejumlah wilayah di pulau itu sering terjadi bencana tanah longsor atau tanah bergeser. Selalu ada keyakinan bahwa longsor terjadi akibat tanah itu tidak ditutupi ”pakaian” atau tidak berpohon. Tanah warisan leluhur menjadi ”telanjang”.

Kearifan lokal ini terbangun dari pemahaman sederhana bahwa manusia berpakaian dan binatang berbulu. Karena itu, tanah juga harus ditutupi pohon. Tuhan tidak menciptakan tanah untuk dikosongkan, maka pohon tumbuh di atasnya. Pohon itu memberikan kesejahteraan melalui buah yang dihasilkan.

”Di sini ada upacara adat yang disebut tuno manuk atau bakar ayam, yang diselenggarakan setiap pertengahan tahun. Salah satu bagian penting dari upacara itu yakni membawa sesajian di sejumlah batang pohon, tempat keramat, dan sumber-sumber mata air. Saat itu, para leluhur dipanggil menjaga dan merawat lingkungan itu agar selalu segar, tidak digerogoti penyakit,” kata Woda.

Desa Demondei dan desa-desa terpencil lain di pulau itu tidak pernah diserang hama tanaman.

Petani sadar tanaman kopi, kemiri, kelapa, pinang, cokelat, dan cengkeh tidak mendatangkan hasil dalam waktu singkat. Jenis tanaman ini butuh waktu 5-10 tahun untuk berbuah. Tanaman tidak perlu diberi pupuk. Petani cukup menyiangi rumput-rumput liar di sekitarnya.

Petani memanfaatkan tanah di sela tanaman dengan menanam jagung, umbi-umbian, dan kacang-kacangan. Jika tidak, ada kecenderungan petani membiarkan rumput dan tanaman liar tumbuh di sekitar tanaman perkebunan itu.

Menurut Woda, budidaya tanaman perkebunan itu berlangsung sejak tahun 1950-an atas petunjuk pastor-pastor Barat yang berkunjung ke desa itu. Mereka membawa anakan kopi, kemiri, kelapa, mangga, dan nangka ke desa itu. Tanaman lain seperti cokelat, vanili, rambutan, dan salak didatangkan warga tahun 1990-an.

Tanaman terus berganti generasi. Setiap tahun di musim hujan sebagian jenis tanaman ditebang, kemudian ditanam baru, atau membiarkan tanaman yang ditebang tumbuh kembali.

Mikhael Sedu (50), Kepala Desa Watodei, Kecamatan Adonara Barat, mengatakan, dari hasil sensus ekonomi 2010, masyarakat di pulau Adonara hampir 70 persen bergantung pada hasil perkebunan. Sisanya dari pertanian (lahan kering), nelayan, dan perdagangan.

Masalah utama adalah tidak ada pendampingan terhadap kelompok tani. Beberapa jenis tanaman dipanen dalam kondisi belum matang sehingga berpengaruh terhadap harga jual di pasar.

Buah kopi, kemiri, cokelat, daging kelapa, dan daging pinang yang dicincang selama ini dijemur langsung di tanah atau di atas wadah yang tidak memenuhi standar kualitas pasar. Petani bekerja secara tradisional sehingga menghasilkan uang seadanya.

Terkadang buah belum matang pun dipanen. Harga jual hasil itu melorot karena kualitasnya rendah. Untunglah, kini, satu persatu petani mulai paham mengenai kualitas hasil perkebunan sehingga bertahan sampai benar-benar matang.

Harga kopi biji Rp 14.000-Rp 15.000 per kg, kemiri Rp 17.000- Rp 18.000 per kg, kopra (kelapa) Rp 3.000-Rp 5.000 per kg, biji cokelat basah Rp 14.000-Rp 15.000 per kg, dan cengkeh Rp 17.000-Rp 22.000 per kg. Harga ini sangat tidak seimbang dengan jerih payah petani. Sementara harga kebutuhan pokok terus naik.

Petani harus memetik hasil dari pohon sebelum memikulnya menuju rumah sejauh 500 meter-7 km. Hasil panen itu dicincang, dibersihkan, dijemur, dikemas dalam karung, dipikul dari desa menuju pasar dengan tenaga sendiri sejauh 7-14 km. Jika ingin mencari untung Rp 500-Rp 1.000 per kg mereka harus melanjutkan perjalanan ke Larantuka dengan kapal atau perahu.

Jadi hiburan

Matias Mamun (58), warga Desa Demondei, Flores Timur, mengatakan, kebahagiaan petani tidak hanya terletak pada hasil panen atau berapa jumlah uang yang diperoleh, tetapi juga mereka terhibur dari rimbunan pohon, kehijauan wilayah, kesuburan tanaman, dan sumber-sumber air yang terjaga. Burung-burung pun hidup damai di situ.

Bagi sebagian besar desa di Pulau Adonara, setiap anak laki-laki, entah apa pun status dia, harus memiliki tanaman perkebunan. Jika tidak, laki-laki itu dianggap pemalas, orang miskin, tak berdaya, dan tak punya harga diri dalam masyarakat. Dalam hal mencari jodoh pun sangat sulit karena perempuan tidak suka terhadap laki-laki seperti itu.

Rata-rata setiap kepala keluarga di pulau itu memiliki lebih dari 1 hektar tanaman perkebunan. Tanaman itu menjadi andalan sepanjang musim. Setiap jenis tanaman memberikan buah secara variatif sehingga petani tidak pernah merasa kesulitan uang sama sekali.

Sayangnya, pulau itu masih sangat miskin infrastruktur, termasuk jalan. Hampir 80 persen penduduk di desa-desa pedalaman masih mengandalkan tenaga manusia atau tenaga kuda untuk mengangkut hasil produksi perkebunan, melewati jalan setapak menuju pusat pemasaran.

Ditunggu keberpihakan pemerintah untuk mengapresiasi ”keberdayaan” rakyatnya....

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com