Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pengawasan Lemah Picu Alih Daya Jelek

Kompas.com - 18/07/2012, 10:22 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com -  Pengawasan ketenagakerjaan yang lemah di daerah membuat praktik alih daya (outsourcing) berkembang melanggar undang-undang. Pemerintah harus menindak pengusaha yang merusak praktik alih daya dengan mengeksploitasi pekerja.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Sofjan Wanandi, Ketua Komite Tetap Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri Kamar Dagang dan Industri Indonesia Iftida Yasar, serta Ketua Umum Asosiasi Bisnis Alih Daya Indonesia Wisnu Wibowo mengungkapkan hal itu, di Jakarta, Selasa (17/7/2012).

Secara terpisah, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia Said Iqbal menuntut Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar mencabut semua izin perusahaan alih daya dan menerbitkan peraturan yang melarang praktik alih daya tidak taat asas.

”Kelemahan pemanfaatan tenaga alih daya sesungguhnya terletak pada pengawasan,” kata Sofjan.

Iftida meminta pemerintah menertibkan pengusaha alih daya yang melanggar aturan. ”Sekarang ini banyak pemain abal- abal yang misleading dalam berbisnis sehingga membuat citra alih daya menjadi jelek sekali,” katanya.

Praktik pemborongan pekerjaan dan jasa penyediaan pekerja diatur dalam Pasal 64-66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pada 17 Januari 2012, Mahkamah Konstitusi dalam putusan bernomor 27/PUU-IX/2011 menyatakan, Pasal 65 Ayat 7 dan Pasal 66 Ayat 2 Huruf b UU Ketenagakerjaan bertentangan secara bersyarat dengan UUD 1945.

Penertiban praktik alih daya yang kian jauh melenceng dari undang-undang sangat mendesak. Praktik alih daya timbul sejak perusahaan-perusahaan multinasional Amerika Serikat dan Eropa mengalihkan pekerjaan- pekerjaan ringan ke negara lain untuk menekan biaya.

Seiring dengan pertumbuhan pasar global, bisnis tenaga alih daya tumbuh subur di negara berkembang. Namun, di Indonesia perkembangan bisnis ini sarat pelanggaran aturan karena pengusaha alih daya mementingkan laba dan pemberi kerja salah kaprah memahami alih daya.

Kondisi ini yang menimpa pekerja alih daya di sejumlah kawasan industri di Indonesia. Mereka tidak memiliki jaminan masa depan karena bisa kehilangan pekerjaan kapan saja, menerima upah sesuai upah minimum meski mengerjakan pekerjaan yang sama terus-menerus, serta tidak memperoleh perlindungan sosial sesuai undang-undang.

Bisnis alih daya memang menggiurkan. Wisnu mengungkapkan, bisnis alih daya tumbuh rata-rata 30 persen per tahun sejak tahun 2009, dengan omzet tahun 2012 sekitar Rp 15 triliun.

Hal itu yang membuat orang terjun berbisnis praktik alih daya, mulai dari tokoh masyarakat di sekitar lokasi industri, pensiunan pegawai bidang ketenagakerjaan, sampai kalangan pekerja.

Menurut Sofjan, kondisi ini membuat pengusaha kian dilematik menghadapi kebijakan alih daya. Di satu sisi, kata Sofjan, UU Ketenagakerjaan mengatur keberadaan tenaga alih daya. Di sisi lain, alih daya didesak oleh kalangan buruh untuk dihapus.

Apalagi, situasi hubungan industrial kerap diwarnai aksi demonstrasi, razia, dan intimidasi yang mengganggu kegiatan industri, khususnya industri padat karya. Ini dinilai mengganggu minat investasi.

”Paling tidak, semua pihak yang masuk dalam kelompok tripartit semestinya sama-sama punya kesepahaman untuk mengubah 4-5 pasal dalam UU Ketenagakerjaan yang mengatur perihal outsourcing supaya pengusaha memiliki kepastian hukum,” kata Sofjan.

Kalangan pekerja terus menuntut pemerintah menghapus praktik alih daya yang melanggar undang-undang. Ketua Umum Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia Nining Elitos meminta Pertamina mengangkat tenaga alih daya menjadi pekerja tetap.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com