Toleransi sendiri, kata Prof Diana L Eck di Universitas Harvard, terlalu rapuh sebagai fondasi suatu masyarakat yang kian majemuk karena tak mensyaratkan setiap warga negara mengenal satu sama lain secara aktif (Eck, 2001: 10). Karena itu, kita harus bergerak ke sikap yang egaliter, terbuka, dan dialogis menyikapi setiap ekspresi agama dan keyakinan yang satu sama lain berbeda. Itulah yang menurut falsafah kebinekaan kita sikap ber-Bhinneka Tunggal Ika: berbeda dalam ekspresi agama dan keyakinan, tetap satu jua dan setara dalam bingkai kebinekaan Indonesia.
Kebinekaan Indonesia bukanlah sesuatu yang terberikan, sekali jadi dan berlaku selamanya. Kebinekaan Indonesia adalah konstruksi dan produk sejarah brilian yang dihasilkan para Bapak Pendiri Bangsa di masa silam yang harus selalu kita pelihara, sempurnakan, bahkan kembangkan sekarang dan nanti.
Amanah kebinekaan menggugah kembali kesadaran kita saling berdialog, berpartisipasi, dan terlibat aktif merajut kemajemukan sebagai modal sosial membangun Indonesia yang maju. Tanpa keterlibatan aktif setiap warga negara, sendi kebinekaan Indonesia pasti rapuh, pudar, runtuh.
Jadi, dengan menggugah dan memperkuat kembali amanah kebinekaan, kita terpanggil aktif melibatkan diri, terutama terkait tugas kita sebagai warga negara yang harus peka dan bertanggung jawab menyikapi masalah bangsa dan memikul kembali tanggung jawab itu bersama mengatasi masalah kolektif kita sebagai bangsa. Kesadaran kebinekaan ini harus terus kita pelihara, wariskan, dan tradisikan kepada sesama warga negara agar terwujud sikap hidup yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.