Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Simeulue, Laboratorium Alam di Tepi Benua

Kompas.com - 26/05/2012, 06:30 WIB

Masyarakat Melayu pada masa lalu menyebut pulau paling utara dari deretan pulau-pulau yang mengapung di barat Sumatera ini sebagai Simaloer, diadopsi dari bahasa pribumi Simoeloel. Masyarakat Aceh menyebutnya sebagai Poelo Oe, yaitu pulau kelapa, mengacu pada banyaknya pohon nyiur itu di sana. Sementara peta-peta kelautan Inggris memberinya nama Pulau-Hog.

Ensiklopedia Hindia Belanda yang disusun oleh DG Stibbe tahun 1919 menyebutkan, desa-desa di Simeulue terletak sepanjang pantai. Juga disebutkan, gempa bumi sering terjadi dan tanah ambles terjadi di sana-sini sepanjang Sinabang dan Teluk Dalam. Gempa yang kerap terjadi di Simeulue itu juga kadang kala diiringi dengan terjadinya tsunami.

Namun, warga Simeulue diberkahi perbukitan yang hanya berjarak 50 meter-100 meter dari pantai. Puncak tertinggi, yaitu Dolo Sibao, setinggi 567 meter. Bukit-bukit ini menjadi benteng alam bagi warga Simeulue karena sebelum tsunami menerjang, mereka bisa lebih dulu berlindung di tempat tinggi.

Selain bentang alam yang khas, Simeulue yang berada di tepi jalur pertemuan lempeng benua Indo-Australia dan Eurasia itu juga memiliki sistem tektonik yang unik. Dari sisi jalur subduksi, pulau yang luasnya hanya sekitar 2.000 kilometer persegi itu tepat di titik pertemuan segmen Nicobar-Andaman dan Nias-Simeulue. Adapun di bagian tengah pulau, terdapat sistem tektonik sendiri yang menghasilkan zona ”tektonik pelana”.

”Kondisi ini menyebabkan Simeulue seperti papan jungkat-jungkit,” kata ahli gempa Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Danny Hilman. Jika terjadi gempa di segmen Nicobar-Andaman, sisi utara Pulau Simeulue akan terangkat. Hal ini terjadi saat gempa pada 26 Desember 2004. Jika gempa terjadi di segmen Nias-Simeulue, sisi selatan pulau yang terangkat, sebagaimana terlihat saat gempa berkekuatan 8,7 skala Richter pada 28 Maret 2005.

Pengangkatan di sisi utara dan selatan itu menyebabkan sisi bagian tengah pulau yang tidak dipengaruhi kedua segmen itu posisinya menjadi lebih rendah dibandingkan kedua sisi pulau. Keunikan ini terpantau jelas melalui rekaman data global positioning system (GPS) yang dipasang para peneliti gempa dan tsunami.

Jika terjadi gempa yang bersifat lokal, seperti pada 2002 dan 2008, bagian tengah akan melenting ke atas untuk mencari kesetimbangan baru dengan bagian utara dan selatan yang telah naik.

”Bagian tengah pulau punya karakter sendiri. Ada tektonik pelana, seperti ruang kosong. Gempa 2004 bagian utara terangkat, gempa 2005 bagian selatan yang terangkat. Gempa 2002 dan 2008 merupakan proses untuk setimbang di bagian tengah,” ujar peneliti tsunami dari Amalgamated Solution and Research, Gegar Prasetya.

Bukan hanya perubahan geologi pulau, Simeulue juga kaya koral atol yang bisa menjadi indikator untuk melacak gempa yang terjadi ratusan tahun lalu.

Sejumlah keunikan Pulau Simeulue ini memosisikannya sebagai laboratorium alam yang sangat lengkap untuk mempelajari gempa dan tsunami. Gegar pun mengusulkan agar Simeulue dijadikan geopark.

Tantangan yang harus dihadapi kini adalah menjadikan laboratorium alam itu sebagai sumber pengetahuan untuk memperbanyak ahli-ahli gempa dan tsunami di negeri ini sehingga tidak bergantung terus kepada para ahli dari luar negeri.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com