Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kekuatan Pesinden Kontemporer

Kompas.com - 16/04/2012, 19:46 WIB

Oleh Ardus M Sawega

Ngambar… gandane arum sekar/ Mulata aku memanismu, hanyengsemake janggaku/ Kombang…mbrengengeng arum, angreridu sekar/ Sumilir silir maruta, hangingsep sarining sariku…// Mbang-mbang kembang, mbang-mbang kombang/ Terate bang kumambang linulad dening kombang/ Mlathi kinanthi, kanthil-kuranthil, hangujiwati kombang, mbang kembang/ Kombang-kembang wus nyawiji...

Tembang Jawa yang didahului bawa (intro) melodius itu semula mengalun empuk, lembut, lalu meniti nada tinggi, meliuk, menghanyutkan kalbu. Ditingkah ketukan perkusi dan petikan gitar yang bergairah. Tembang itu diikuti improvisasi vokal panjang bernada sopran, lengkingan tinggi, memekik, kadang mirip jeritan, ”ndremimil” seperti bernyanyi asal bunyi. 

Audiens takjub dengan permainan vokal Peni Candra Rini dalam nomor ”Sekar”. Ia berkolaborasi dengan kelompok Sentana pada Parkiran Jazz di Balai Soedjatmoko, Solo, Kamis (29/3) malam.

Kekuatan teknik vokal Peni yang lentur, menggabungkan nada pentatonik dan diatonik secara terjaga, berkelindan padu dengan petikan gitar Fay Ehsan, Kiky (bas), dan perkusi oleh Plenthe. Mereka menyuguhkan repertoar jazz yang segar.

Permainan vokal Peni

membuktikan bahwa vokal memiliki kekuatan mandiri. ”Saya bukan penyanyi jazz,” tuturnya seraya mengakui ia tak terlalu tahu lagu-lagu jazz. Dengan latar belakang vokalis karawitan alias pesinden, ia melihat dalam jazz selalu ada keterhubungan dan dialog antar- instrumen.

Filosofi jazz inilah yang ditawarkan sejumlah seniman jazz di Amerika Serikat kepada Peni saat ia memperdalam pengetahuan bidang komposisi musik lewat hibah dari Asian Cultural Council di California Institute of the Arts (CalArts), September 2011-Februari 2012.

Peni adalah pengajar Jurusan Karawitan pada Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta untuk mata kuliah vokal, notasi, dan komposisi musik. Ia menjadi dosen sejak lulus program pascasarjana di almamaternya, tahun 2008.

Atas dorongan musisi jazz Susan Allen (AS) dan Roman Stolyar (Rusia), Peni terlibat dalam forum-forum jazz seperti improvisasi ansambel jazz atau free jazz di kampus. Mereka melihat Peni sebagai vokalis solo berlatar belakang tradisi karawitan Jawa yang unik.

”Karakter pesinden berbeda dengan penyanyi sopran atau seriosa dalam musik Barat,” ungkap Peni yang membuat eksperimen vokal dengan beragam karakter vokal dari Papua, Kalimantan, Padang, dan Jawa.

Kehadiran Peni selama di AS merebut hati komunitas seniman musik negeri itu. Tak terbilang aktivitas seni kreatif yang dia lakoni. Selain berkuliah di bidang komposisi musik, ia juga diminta mengajar kelas gamelan dan vokal (sinden) di CalArts. Ia pun menjadi seniman tamu di kampus lain, seperti Cornish College of the Arts, University of Portland, dan University of Richmond.

”Saat pentas di Richmond, saya membawakan repertoar ’Lintang’ dan ’Manik Jejantung’, banyak penonton menangis. Penonton bilang, walau mereka tak tahu arti teksnya, tetapi bisa menangkap ’rasa’ dalam komposisi itu,” tuturnya.

Peni menambahkan, Meredith Monk, komposer musik klasik, mengajarinya konsep, ”Menyanyilah dengan tubuhmu dan menarilah dengan suaramu.”

Bagi Peni, konser gamelan bersama kelompok Kusuma Laras dan Rob Kapilow di Teater Lincoln Center, New York, 14 November 2011, sebagai satu puncak pencapaiannya. Perasaan serupa dia alami saat pentas di Poncho Hall, Cornish College of the Arts, dan workshop bersama Gamelan Pacifica, kelompok gamelan di AS. Di negeri itu ada lebih dari 400 kelompok gamelan.

Meluruskan

Lebih dari pesinden, Peni bisa disebut satu dari sedikit perempuan komposer berlatar belakang musik tradisi di Tanah Air. Dengan riwayat pendidikan dan vokalis karawitan, ia mungkin satu-satunya komposer yang lebih menekankan kekuatan vokal dalam komposisi musik yang dibuatnya. Instrumen lebih sebagai pengiring.

Sejak dididik ayahnya, dalang wayang kulit Wagiman Gandacarita, belajar di Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKN 8) di Solo, lalu kuliah di Jurusan Karawitan ISI Surakarta, ia diposisikan sebagai pesinden. Namun, ia lulus sebagai pengrawit yang menguasai semua instrumen gamelan dan penyusun komposisi musik.

Karawitan adalah budaya tradisi yang kuat, karena itu ia mendedikasikan diri demi pelestariannya. Ia menguasai komposisi, baik karawitan yang pakem maupun kontemporer.

”Musik gamelan itu lentur, bisa digarap seperti apa pun tergantung ide kita. Eksperimen tidak merusak, tetapi kita harus bisa menempatkan karya itu sesuai kebutuhannya. Dengan begitu, kita memberikan penghargaan dan mengangkat derajat gamelan. Kalau tak disentuh, gamelan hanya menjadi barang antik,” paparnya.

Namun, ia ingin meluruskan definisi ”pesinden” yang salah kaprah. Pesinden, kata Peni, adalah vokalis dalam ansambel gamelan yang pentatonik. ”Penampilan penyanyi pada program televisi yang disebut ’pesinden’ itu salah. Itu pembodohan publik. Mereka penyanyi pop yang membawakan musik diatonik, cuma mengolah cengkok vokal ala pentatonik.”

Sejak usia 13 tahun, Peni menjadi pesinden, membantu sang ayah di Desa Ngentron, Kecamatan Campurdarat, Kabupaten Tulungagung. Kemampuan nyinden dia peroleh dari proses olah rasa yang panjang. ”Tak mudah menjadi pesinden, kita harus menjalani inisiasi dan dilantik dalam suatu upacara.”

Ia hidup dalam lingkungan tradisi yang kuat. Sejak berusia 5 tahun, ia diajari ayahnya teknik vokal sinden seperti cengkok, gregel, wilet, laras pelog, dan slendro. Teknik tersulit dalam vokal sinden adalah menggabungkan suara luar dan suara dalam, atau sorogan (falsetto).

”Saya dilatih mengeluarkan suara dalam nada tinggi, sampai otot di leher keluar. Bapak menyiapkan uang Rp 100 dan lidi. Kalau saya berhasil, diberi uang, tetapi kalau tak bisa, digebuk lidi,” cerita bungsu dari tiga bersaudara ini.

Untuk belajar sinden dengan iringan gender, ia dan ayahnya menempuh dua jam perjalanan ke Tulungagung dengan sepeda motor.

Ketika duduk di kelas I SD, Peni didaftarkan ikut lomba macapat perayaan 17 Agustus, dan menang. Tradisi ikut lomba itu berulang setiap tahun dari tingkat kecamatan, kabupaten, lalu provinsi. Ia selalu meraih juara satu. Sejak SMP ia mendapat beasiswa dan tunjangan Rp 60.000 per bulan. Ini amat membantu ekonomi keluarganya.

Sejak SMP dia sering diminta sebagai pesinden, untuk mengiringi pentas wayang kulit dan klenengan. Ia membiayai sendiri pendidikannya sejak di sekolah menengah. Namun, ia lalu memilih mengeksplorasi vokal sindenan yang terbuka luas.

”Menjadi komposer sekaligus pemusik jadi pilihan hidup saya, ide-ide terus bermunculan,” ungkap Peni. Ia berharap suatu saat bisa menggelar konser yang menampilkan komposisinya.

(Ardus M Sawega Wartawan di Solo)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com