Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tawuran Sudah Merembet ke Siswa SD

Kompas.com - 07/03/2012, 10:47 WIB

BOGOR, KOMPAS.com — Kualitas dan kuantitas perkelahian antarpelajar atau tawuran di Kota Bogor, Jawa Barat, meningkat hingga menyebabkan setidaknya dua pelajar menjadi korban setiap bulan. Bahkan, ada kecenderungan pelajar sekolah menengah pertama dan sekolah dasar ikut terlibat.

Data dari Satuan Tugas Pelajar Dinas Pendidikan Kota Bogor menunjukkan, selama kurun waktu 2008-2012, setidaknya 93 pelajar SMP, SMA, dan SMK menjadi korban perkelahian atau tawuran. Dari jumlah itu, sebanyak 10 pelajar tewas, 4 cacat, dan sisanya luka berat serta luka ringan.

"Sekarang ada kecenderungan merembet. Kalau pada awal satuan tugas terbentuk 12 tahun lalu mayoritas perkelahian di SMK, sekarang ada yang SMP, malah belakangan ini SD," tutur TB Muhamad Ruchjani, Ketua Harian Satuan Tugas Pelajar Dinas Pendidikan Kota Bogor, Selasa (6/3/2012).

Beberapa waktu lalu, Satuan Tugas Pelajar Dinas Pendidikan Kota Bogor bahkan menemukan siswa SD yang membawa gir (dasar roda gigi) di tas.

"Anak SMP dan SD belajar dari perilaku senior-senior mereka. Lalu, ada regenerasi tawuran dan kekerasan," kata Ruchjani.

Berdasarkan pendataan Dinas Pendidikan Kota Bogor, mayoritas perkelahian pelajar berupa pencegatan siswa sekolah tertentu terhadap siswa sekolah lain.

Dalam empat tahun terakhir, kasus perkelahian pelajar yang terjadi di SMK mencapai 80 kasus (5 tawuran, 75 pencegatan), sedangkan yang melibatkan siswa SMP sebanyak 18 kasus (2 tawuran, 16 pencegatan).

Siswa SMP yang mengalami luka-luka mencapai 16 orang, sedangkan siswa SMA yang terluka tercatat 14 orang. Korban luka terbanyak adalah siswa SMK, yaitu 63 orang, dan 10 orang di antaranya tewas.

Namun, Ruchjani berkeyakinan, data tersebut jauh lebih sedikit daripada realitasnya.

Beberapa siswa yang terlibat perkelahian antarpelajar yang terjaring razia dan diamankan polisi dalam beberapa kejadian kerap mengaku tidak mengetahui akar permusuhan antarsekolah.

Siswa yang ditanyai Kompas mengaku hanya disuruh oleh para senior, termasuk alumnus atau yang dipecat dari sekolah mereka.

Orangtua ikut andil

Ida Chrysanti, psikolog dari Biro Konsultasi Remaja dan Keluarga Bogor, menilai perilaku itu disebabkan remaja selalu takut dikucilkan kelompok sebaya sehingga menjadi solider dan ikut tawuran tanpa tahu masalahnya.

Selain itu, emosi remaja juga masih labil dengan energi berlebih. Menurut dia, sekolah dan orangtua memiliki andil besar dalam perluasan kekerasan ini.

"Kalau sekolah banyak aktivitas dan disiplin, tentu akan meminimalisasi hal itu. Kalau dilihat, tawuran banyak terjadi di sekolah dengan siswa banyak waktu luang atau saat jam pelajaran berada di luar sekolah," tuturnya.

Sementara itu, pengawasan orangtua juga kurang. Saat pulang terlambat pun anak tidak diperhatikan.

Ida mengatakan, jika terus dibiarkan, anak-anak akan semakin garang dan beringas. Hal itu akan terbawa saat mereka dewasa. Pada akhirnya, budaya kekerasan menjadi langgeng. "Bukan tidak mungkin mereka tidak lagi takut kepada aparat negara," ujar Ida. (GAL)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com