Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nasionalisme dalam Selembar Sarung

Kompas.com - 04/03/2012, 02:19 WIB

Budaya dan nasionalisme

Seperti produk tekstil lain, sarung memiliki ragam variasi di negeri ini, seperti sarung kotak-kotak yang menjadi ciri khas sarung Samarinda dan Majalaya, sarung tenun ikat di Nusa Tenggara Timur (NTT), sarung dengan nuansa warna emas atau perak di Sumatera, atau sarung batik dari Pekalongan.

Variasi ini tak hanya bisa dinikmati secara visual melalui warna, bahan, dan motifnya, tetapi juga bisa dilihat melalui keragaman filosofi di baliknya. Di NTT, sarung bisa menjadi penanda kedewasaan perempuan penenunnya. Di Sulawesi Selatan, orang Bugis berhubungan dengan sarung dari lahir hingga meninggal. Pamor sarung Bugis yang dibawa para perantaunya bahkan berpengaruh pada munculnya sarung Samarinda.

Melalui motif dan warna, sarung juga menjadi tanda status sosial pemakainya. Dalam buku Tenun: Handwoven Textiles of Indonesia (Cita Tenun Indonesia, 2010) diuraikan, dominasi warna emas dan perak pada sarung di Padang mewakili status dan kesejahteraan orang Minang. Begitu pula sarung Bugis yang memiliki aksen dua warna tersebut.

Di Baduy, seperti diceritakan Merdi, ketebalan garis pada sarung menunjukkan strata sosial laki-laki pemakainya. Semakin tebal garis, semakin tinggi pula status sosialnya.

Sarung juga memiliki nilai historis di masa perjuangan. Diceritakan dalam buku Outward Appearances, Dressing State and Society in Indonesia (1997), sarung menjadi alat perlawanan kaum terpelajar Indonesia, terutama di masa penjajahan Jepang.

Ketika itu, kaum perempuan terpelajar Indonesia memilih mengenakan sarung dengan kebaya dan meninggalkan baju terusan yang dibawa bangsa Eropa. Di kalangan lelaki, ada yang memadukan budaya Jawa dan non-Jawa, yaitu dengan memakai jas yang dipadukan dengan sarung. Kondisi ini menjadi bentuk perlawanan setelah pada masa pendudukan Belanda, sarung hanya dikenakan di lingkungan privat.

Setelah kemerdekaan, berkat Soekarno, sarung dan kebaya kembali muncul di kalangan elite di wilayah umum dan mendapat status sebagai pakaian nasional. Dengan tambahan tas dan kacamata hitam sebagai atribut status dan kekuasaan, sarung dan kebaya saat Orde Baru mewakili warisan kebudayaan Indonesia.

Cerita dalam buku yang diedit Henk Schulte Nordholt, seorang dosen sejarah modern Asia dan antropologi di University of Amsterdam, ini adalah bukti bahwa sarung pernah mendapat tempat sebagai simbol nasionalisme bangsa. Atas dasar ini, ditambah kekayaan ragamnya, sehelai sarung seharusnya tak hanya dikenal sebagai pakaian rumah.

Kekayaan bangsa

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com