YOGYAKARTA, KOMPAS.com — Pemerintah pusat perlu menjelaskan konsep living harmony atau hidup dalam harmoni yang dijadikan solusi permasalahan penduduk di kawasan rawan bencana erupsi Gunung Merapi, kata Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X.
"Hal itu diperlukan karena aturan mengenai kawasan rawan bencana (KRB) tertuang dalam Undang-Undang (UU) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang memiliki kekuatan hukum tetap," kata Sultan di Kepatihan Yogyakarta, Kamis (26/1/2012).
Menurut dia, UU RTRW menyebutkan sebuah wilayah yang kosong atau dikosongkan jika ditinggali masyarakat, maka akan melanggar ketentuan pidana. Pemerintah daerah yang memfasilitasi penduduk di tempat tersebut juga dianggap melanggar UU.
"Hal itu pada akhirnya menimbulkan problem baru seperti yang terjadi pada masyarakat di Glagaharjo, Cangkringan, Sleman, yang berada pada KRB dan menolak direlokasi. Mereka kemudian tidak mendapatkan fasilitas dan tidak mendapatkan bantuan pemerintah, termasuk pembangunan infrastruktur," katanya.
Ia mengatakan, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) juga tidak bisa memfasilitasi karena terganjal aturan UU. Jika pemerintah daerah yang memfasilitasi masyarakat di wilayah yang memang kosong atau dikosongkan itu berarti juga kena pidana sehingga Pemprov DIY tidak bisa memfasilitasi apa pun di Glagaharjo.
"Ketentuan UU RTRW tersebut tidak hanya akan berimbas pada masyarakat Glagaharjo, tetapi juga Balerante. Pemerintah pusat sampai saat ini juga masih menunda dan ingin mencari jalan keluar menyangkut apa yang dimaksud dengan living harmony," katanya.
Menurut dia, jika masyarakat Glagaharjo mempunyai kesepakatan antarwarga dan dengan pemerintah itu akan menjadi alat Pemprov DIY untuk meyakinkan pemerintah pusat bahwa living harmony yang tidak melanggar UU itu seperti apa. Konsep living harmony itu harus jelas.
"Kejelasan yang dimaksud misalnya dalam pelaksanaan teknis di lapangan, wilayah paling utara di Glagaharjo apakah boleh dihuni atau tidak. Jika tidak, apakah harus dikosongkan atau apakah boleh dihuni dengan kesepakatan masyarakat harus siap dipindah sewaktu-waktu atau diungsikan jika terjadi bahaya," katanya.
Selain itu, apakah pemerintah juga tetap bisa memberikan fasilitas untuk infrastruktur, jalan evakuasi, sekolah, dan pasar, karena di tempat tersebut ada penghuninya. Ia mengatakan, setelah dicapai kesepakatan konsep living harmony dan disetujui pemerintah pusat, maka pemerintah pusat harus mengeluarkan keputusan bahwa kesepakatan itu merupakan jalan tengah yang paling baik.
"Sebelum ada keputusan tersebut Pemprov DIY memang tidak bisa membangun atau merehabilitasi sekolah di KRB seperti yang terjadi di SD Srunen," katanya.
Berkaitan dengan hal itu, kata dia, masyarakat korban erupsi Merapi di KRB akan diminta untuk berkumpul dan membuat tim bersama SKPD terkait, seperti di bidang lingkungan dan pekerjaan umum. Rumusan yang dihasilkan tim tersebut selanjutnya akan disosialisasikan kepada masyarakat Glagaharjo.
Jika nanti mereka tetap belum setuju, lalu sepakatnya seperti apa. Kemudian kesepakatan selanjutnya akan menjadi materi Pemprov DIY untuk minta Menko Perekonomian mengundang rapat antarkementerian, yakni untuk mempresentasikan apakah hal ini yang dimaksud living harmony.
"Setelah hal itu disetujui, selanjutnya pemerintah pusat mengeluarkan keputusan. Jadi, semuanya menjadi jelas," kata Sultan.