Umumnya masyarakat keturunan Tionghoa dikenal memiliki etos kerja bertanggung jawab dan kedisiplinan yang layak ditiru. Dalam pekerjaan, kesungguhan dan keuletan mereka menjadi kunci sukses.
Tidak heran, etos kerja seperti itulah yang diserap di Indonesia. Bahkan, warga non-Tionghoa juga mencoba mengikuti kesuksesan tersebut, terutama dalam berbisnis, misalnya dengan mempelajari bahasa Mandarin.
Dengan mengerti, apalagi menguasai bahasa Mandarin, pintu menuju keberhasilan mulai terbuka. Keberhasilan bisa menjangkau berbagai bidang, mulai perekonomian dan perdagangan sampai hubungan internasional.
Seperti Judika B Manurung (22), mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara. Saat duduk di bangku SMP, dia mulai mengenal istilah Hokkian.
”Lebih dari 90 persen temanku di SMP Methodist (Medan) merupakan keturunan Tionghoa, yang sehari-hari bicara dengan bahasa Hokkian,” tuturnya.
Semula Judika, yang kini mengikuti semester 8 Jurusan Sosiologi, mengalami ”pukulan” sebab sebelumnya dia tergabung dengan SD negeri. Berada di lingkungan yang baru, ternyata hampir semua temannya menggunakan bahasa Hokkian saat berkomunikasi.
”Lama-kelamaan aku pikir enggak akan punya teman kalau enggak ikutan omong bahasa Hokkian,” ujarnya.
Dengan pemahaman itu, dia mengetahui bahwa, suka atau tidak, dirinya harus memperhatikan teman-teman di lingkungan sekolah barunya itu.
Apalagi, Judika merasa bukan siswa istimewa. Meski termasuk dalam 10 besar di kelas, toh dia bukan tergolong tiga besar.