Bandar Lampung, Kompas
Ini disampaikan anggota Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) asal Lampung, Tisnanta, Rabu (18/1). ”Rekomendasi audit perizinan dan pelaksanaan pengamanan swakarsa di PT SIL (Silva Inhutani Lampung) dan BSMI (Barat Selatan Makmur Investindo) merupakan salah satu solusi kasus yang disampaikan TGPF dalam laporan akhirnya kepada Presiden. Ini sekaligus menjawab keluhan warga yang menyebutkan laporan TGPF belum menghasilkan rekomendasi yang menyelesaikan akar persoalan, yaitu sengketa tanah,” kata Tisnanta.
Dikatakan, dari temuan TGPF di lapangan, PT SIL dan BSMI diketahui melakukan sejumlah pelanggaran yang bisa jadi dasar dilakukan audit perizinan. Ada enam pelanggaran PT SIL, salah satunya, tak melaksanakan program kemitraan dengan warga seperti diwajibkan ketentuan UU.
”PT SIL juga tidak melakukan penataan batas wilayah sehingga banyak perambah masuk. Mereka juga membiarkan pembuangan limbah ke hutan Register 45. Belum lagi, ditemukan adanya penyewaan lahan ke pihak ketiga. Kami ada buktinya,” ujar pengajar di Universitas Lampung ini.
Dalam konflik warga Tanjung Raya Mesuji dengan PT BSMI, ditemukan kejanggalan dalam proses pembebasan tanah ulayat. Seperti diungkap Ajar Etikana (43), warga Sritanjung, Kecamatan Tanjung Raya, dalam proses pembebasan lahan dan pembuatan hak guna usaha PT BSMI, sejumlah pejabat tingkat kecamatan dan kabupaten justru ikut ”bermain” dengan menjualbelikan tanah warga.
Dari laporan TGPF terungkap pula, polisi merekayasa kematian Made Aste, warga Pelita Jaya, dalam penertiban hutan Register 45 pada 6 November 2010. Dalam video berdurasi empat menit yang ditemukan TGPF, diketahui saat kejadian, Made Aste tidak membawa senjata tajam.
Daniel dari PT SIL membantah perusahaan itu melanggar sejumlah aturan, di antaranya pembuangan limbah dan program kemitraan. ”Itu bohong, tuduhan kami membuang limbah. Soal kemitraan, mau dijalankan bagaimana kalau ternyata mereka perambah,” ujarnya.