Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Aceh yang Luluh Lantak Kini Menjadi Molek

Kompas.com - 18/12/2011, 20:52 WIB

Kapal milik PLN sepanjang 63 meter dan berbobot mati 2.500 ton itu tak pernah berlayar kembali. Kapal itu telah teronggok selama tujuh tahun di balik pemukiman di tengah lapangan luas di Desa Punge Blangcut, Kecamatan Jaya Baru, Banda Aceh.

Tugasnya sebagai pembangkit listrik lepas pantai telah beralih fungsi menjadi monumen sejak kapal itu diempas gelombang tsunami sejauh 3 kilometer ke darat pada 26 Desember 2004. Kapal yang saat jayanya bernama PLTD Apung 1 dan kini sudah penuh karat tersebut menjadi saksi bisu kedahsyatan tsunami kala itu. Kapal itu menjadi korban limpasan air laut yang meluluh-lantakkan Aceh dan menelan seratusan ribu warganya.

Tak jauh dari sana, kapal lain yang disebut "Bahtera Nuh" bahkan masih bertahta di atas sebuah rumah di Gampong Lampulo, Kecamatan Kuta Alam, Kota Banda Aceh. Ini merupakan pemandangan langka yang tetap dipertahankan pemerintah Kota Banda Aceh untuk mengenang musibah tersebut.

Tsunami telah menorehkan luka mendalam bagi penduduk Aceh. Namun, mereka tak ingin larut dalam kesedihan berkepanjangan. Aceh kini terus menggeliat dan rajin bersolek. Peradaban yang hancur terkoyak itu kini tak tampak lagi. Yang terlihat saat ini adalah jalan-jalan beraspal yang mulus dengan berbagai bangunan baru di sepanjangnya.

Kedua aset sisa tsunami itu justru diharapkan menjadi modal untuk menarik kunjungan wisatawan ke Banda Aceh. Dengan menyaksikan kedua kapal itu, wisatawan dapat bertamasya sambil mengenang peristiwa dahsyat di masa silam.

Museum tsunami

Selain kedua bukti kapal tadi, Museum Tsunami Aceh dengan nama "Rumoh Aceh Escape Building Hill" di Jalan Sultan Iskandar Muda juga penting untuk dikunjungi jika ingin berwisata ke tempat ini. Bangunan megah di area seluas 10.000 meter persegi dan diresmikan pada 2008 itu mengambil ide dasar rumah tradisional Aceh yang berpanggung. Eksterior bangunannya mengekspresikan keberagaman budaya Aceh.

Museum ini memiliki escape hill, yakni sebuah taman berbentuk bukit yang dapat dijadikan sebagai salah satu lokasi penyelamatan terhadap datangnya tsunami. Taman itu memiliki "The Light of God" yang berbentuk sumur silinder menyorotkan cahaya ke atas lubang dengan tulisan arab "Allah?". Pada dinding sumur, tertulis nama-nama korban bencana tsunami itu.

Jika ingin mengenang korban dan kepiluan masa-masa peristiwa tsunami, kuburan massal Ulee Lheu bisa juga dikunjungi. Di sinilah tempat dimakamkannya 14.264 korban tsunami.

Sebelum tsunami, kuburan ini merupakan Rumah Sakit Umum Meuraksa yang kemudian rusak parah akibat tsunami. Halamannya lalu dijadikan pemakaman massal bagi korban tsunami.

Kuburan massal lainnya ada di kawasan Lam Baro di dekat jalan menuju Bandara Sultan Iskandar Muda. Di areal ini dimakamkan sebanyak lebih dari 26.000 korban tsunami.

Selain lokasi wisata tsunami, Banda Aceh juga menawarkan lokasi wisata lain yang telah populer sebelum terjadi bencana tsunami. Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, misalnya, merupakan salah satu masjid terindah di Indonesia. Tempat ibadah ini memiliki tujuh kubah, empat menara, dan satu menara induk dengan luas total bangunan 4.760 meter persegi.

Masjid yang kini memiliki halaman asri dihiasi kolam besar, pepohonan, rerumputan dan tanaman hias itu tertata rapi. Masjid ini merupakan bangunan bersejarah Aceh yang didirikan pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Di masa lalu, masjid tersebut menjadi pusat menimba ilmu agama di Nusantara, termasuk pelajar dari negeri-negeri tetangga, dari Arab, Turki, India, dan Parsi.

Situs lainnya yang biasa dikunjungi wisatawan adalah Makam Sultan Iskandar Muda, tokoh penting dalam sejarah Aceh. Ketika Sultan memerintah di Kerajaan Aceh Darussalam pada tahun 1607-1636, ia mampu menempatkan kerajaan Islam Aceh di peringkat kelima di antara kerajaan terbesar Islam di dunia pada abad ke-16.

Lokasi wisata lainnya adalah Gunongan di Jalan Teuku Umar, yang berhadapan dengan makam serdadu Belanda (Kerkoff). Bangunan ini merupakan persembahan dan simbol kekuatan cinta Sultan Iskandar Muda kepada permaisurinya Putri Phang (Putroe Phang) asal Pahang, Malaysia, yang sering merindukan kampung halamannya.

Bangunan ini bersegi enam, berbentuk seperti bunga dengan tiga tingkat. Tingkat utamanya berupa sebuah mahkota tiang yang berdiri tegak. Pada dindingnya ada sebuah pintu masuk berukuran rendah yang selalu dalam keadaan terkunci. Dari lorong pintu itu, ada sebuah tangga menuju ke tingkat tiga Gunongan.

Peutjoet Kerkoff juga telah lama menjadi lokasi kunjungan turis. Sekitar 2.200 tentara Belanda termasuk empat jenderalnya sejak tahun 1883 hingga 1940-an dikuburkan di sini.

Pada relief dinding gerbang makam tertulis nama-nama dan tahun meninggal serdadu Belanda yang tewas dalam pertempuran dengan masyarakat Aceh di Sigli, Moekim, Tjot Basetoel, hingga Samalanga. Monumen ini membuktikan bagaimana gigih rakyat Aceh membela tanah airnya.

Seribu benteng

Setelah tiba di Banda Aceh, wisatawan seharusnya tak lupa menginjakkan kaki di Sabang, Pulau Weh. Pulau ini berada di ujung paling barat Indonesia yang jaraknya sekitar 22,5 km dari Banda Aceh dan dapat ditempuh kurang lebih selama dua jam dengan kapal feri atau 45 menit dengan kapal cepat.

Kota Sabang dibagi menjadi dua. Kota atas menyajikan pemandangan Teluk Sabang yang indah di mana banyak berdiri gedung kolonial. Kota bawah menjadi tempat pondok-pondok nelayan tradisional di sepanjang pantai selatan Pelabuhan Sabang, wilayah Pecinan dan pertokoan, hingga wilayah permukiman yang padat di sebelah utara Pelabuhan Sabang.

Pulau Weh ini juga dipenuhi dengan benteng-benteng Jepang yang tersebar. Benteng-benteng itu dulunya saling dihubungkan dengan terowongan, tetapi sekarang sudah ditutup. Contoh benteng yang masih terawat ada di Anoi Itam dan benteng besar dengan banyak pintu masuk ke terowongan di Gunung Batu.

Sabang memang digelari sebagai "Kota Seribu Benteng". Hampir setiap jengkal tanah yang mengarah ke laut lepas terdapat benteng kuno dari masa perang melawan Portugis sampai masuknya Jepang.

Adapun di Desa Ujung Ba’U, sekitar 29 km dari pusat Kota Sabang, para wisatawan akan menemukan Monumen Kilometer Nol. Monumen ini berdiri di puncak tebing setinggi 22,5 meter dan menghadap langsung ke Samudera Hindia.

Dari tugu yang berada pada posisi geografis 5 derajat Lintang Utara dan 95 derajat Bujur Timur itu, wisatawan bisa menunggu pemandangan matahari tenggelam yang menakjubkan menjelang senja. Di sepanjang jalan pulang dari monumen ini, banyak monyet yang kembali bermunculan dan mengharapkan lemparan kacang.

Pulau Weh memiliki keindahan yang masih alami dan tak kalah dengan lokasi wisata bahari lainnya di Nusantara. Pulau ini dikelilingi empat pulau kecil, yakni Pulau Rubiah, Pulau klah, Pulau Seulako, dan Pulau Rondo dan merupakan pulau terdepan yang berbatasan langsung dengan India dan Thailand.

Dari Pulau Weh, turis bisa menyewa perahu ke Taman Laut Pulau Rubiah (Iboih) yang lautnya biru-hijau jernih. Laut ini dikaruniai pesona karang-karang dan ikan-ikan unik beraneka warna sehingga sering disebut sebagai surga alam bawah laut.

Menyelam, baik snorkeling atau diving, dapat dilakukan di perairan ini karena semua fasilitas, seperti perahu motor dan peralatan selam, telah disediakan oleh dinas pariwisata setempat. Pengunjung juga dapat menikmati wisata naik sampan, berselancar, berenang, dan memancing.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com