Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berharap Anugerah untuk Jalani Mimpi

Kompas.com - 08/12/2011, 05:29 WIB

Oleh Cornelius Helmy

Bagi penderita talasemia, hidup sehari adalah anugerah. Namun, di tengah semangat tetap bertahan, ancaman selalu membayangi. Darah yang sangat dibutuhkan itu kerap sulit didapatkan tanpa mereka pun tahu penyebabnya. 

Cucuran keringat belum bosan membasahi muka Dudin Sanudin (42), warga Gunung Batu, Kelurahan Cipedes, Kecamatan Cipedes, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat. Namun, belum satu pun labu darah yang dia dapatkan. Padahal, kondisi Dini Apriliani (15), anaknya yang menderita talasemia, semakin lemah di rumah. Jadwal transfusi darah yang harus rutin dia jalani sudah molor satu minggu.

”Saya sudah cari darah ke Palang Merah Indonesia (PMI) Tasikmalaya dan beberapa instansi lain, tetapi tidak membuahkan hasil apa pun,” kata buruh serabutan peserta Jaminan Kesehatan Masyarakat Miskin Daerah Tasikmalaya ini.

Talasemia adalah kelainan darah karena kurangnya hemoglobin sehingga penderitanya harus melakukan transfusi darah secara rutin. Hal ini dipicu faktor keturunan, di mana kedua orangtua penderita memiliki talasemia.

Hal sama dialami Dadang (45), warga Kampung Jagabaya, Desa Rajadatu, Kecamatan Cineam, Kabupaten Tasikmalaya. Ia terpaksa mencari donor sendiri bagi anaknya, Ai Nurjanah (9), yang menderita talasemia sejak usia 10 bulan. Beruntung ada kerabatnya yang mau menyumbangkan darah.

”Biasanya saya dapat darah dari PMI Tasikmalaya, tetapi katanya sekarang stok lagi kosong. Entah kenapa karena kondisi ini biasanya terjadi menjelang Idul Fitri,” katanya.

Sejak sebulan lalu, stok darah di Kabupaten Tasikmalaya terganggu akibat kisruh PMI Tasikmalaya dan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Tasikmalaya. Ketua PMI Tasikmalaya Tata Rahman meminta RSUD itu membayar utang Rp 1 miliar. Jika tak dilunasi, mulai 1 Desember 2011 semua pasien harus membayar di tempat kalau butuh darah. Ancaman itu batal terlaksana setelah RSUD Tasikmalaya melunasi tunggakan.

Akan tetapi, pernyataan itu berefek panjang. Banyak donor darah menilai ada praktik jual-beli darah. Padahal, donor menyediakan gratis.

Prihatin dengan keadaan itu, Yayasan Setetes Darah Sejuta Harapan (Setara) Tasikmalaya melakukan aksi protes dengan menginap di halaman Pemerintah Kota Tasikmalaya sejak 2 November hingga 7 Desember. Yayasan Setara adalah lembaga nirlaba di Tasikmalaya yang fokus mencari donor bagi penderita talasemia. Ketua Setara Baihaqi Umar meminta Pemkot Tasikmalaya menerapkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2011 tentang Pelayanan Darah dan menegur Ketua PMI Tasikmalaya karena pendapatnya meresahkan serta menurunkan minat donor darah.

”Biasanya kami bisa mendapatkan 200 labu darah per bulan, yang diberikan kepada 123 penderita talasemia secara gratis. Namun, sejak muncul pernyataan Ketua PMI, hampir tak ada donor darah sehingga persediaan kosong,” katanya.

Ketua Perhimpunan Orang Tua Penderita Thalassemia Indonesia (Popti) Tasikmalaya Apandi mengaku, penderita talasemia kesulitan beraktivitas tanpa pasokan darah rutin, khususnya yang bersekolah. Tanpa obat dan transfusi darah rutin akan menurunkan minat sekolah penderita talasemia. Bukan rahasia apabila mayoritas penderita talasemia dipaksa menyerah lalu putus sekolah karena kondisi fisik mereka lemah.

Yang bersekolah

Berdasarkan data Popti Tasikmalaya, dari 123 anak penderita talasemia, hanya 50 anak yang bersekolah. Sebanyak 73 orang putus sekolah, bahkan ada yang sama sekali tidak pernah bersekolah.

Acep Abdul Aziz (11), warga Kampung Cikijing, Desa Kujang, Kecamatan Karangnunggal, Kabupaten Tasikmalaya, misalnya. Ia berhenti bersekolah saat naik ke kelas IV SDN Bayuwaras, setahun lalu. Menurut Askonah (37), ibunda Acep, anaknya sering tak sekolah karena malu fisiknya lemah. Berbagai cara dilakukan untuk membujuk Acep, tetapi gagal. ”Guru di sekolah meminta Acep tetap melanjutkan sekolah meski hanya masuk 2-3 kali seminggu. Namun, Acep sudah tidak mau karena lelah dan malu,” kata Askonah.

Pemerintah Kabupaten atau Pemkot Tasikmalaya seharusnya ikut peduli terhadap masalah ini. Jika terus dibiarkan, semakin banyak anak penderita talasemia melupakan mimpi mereka. Padahal, tak sedikit penderita talasemia yang punya semangat untuk terus sekolah.

Lihat saja Faizal Rifky Suandi (18), siswa kelas XII IPA 2 SMAN 1 Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya. Penderita talasemia sejak umur 4 tahun dan sempat divonis hanya hidup hingga usia 13 tahun itu tidak mau menyerah. Semangat itu dibuktikan dengan meraih peringkat I-III di kelas. Sejumlah kejuaraan ilmiah tingkat Jawa Barat pun diikuti.

Untuk bertahan hidup, setiap tiga minggu, ia mendapatkan transfusi tiga labu darah. Selama transfusi, ia harus beristirahat total. Jika ia sedang kerja berat, jadwal transfusi pun singkat. Alasannya, energi yang dibutuhkan semakin banyak. Bahkan, jika sedang kesulitan darah, biasanya transfusi dilakukan satu minggu per satu labu.

”Saya mohon darah tetap tersedia agar saya tetap bisa menjalani mimpi,” kata Faizal, yang ingin melanjutkan kuliah di Jurusan Teknik Informatika Institut Teknologi Bandung.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com