Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Air Mata di "Negeri" Gajah

Kompas.com - 30/11/2011, 15:50 WIB


Oleh: Irma Tambunan/Irene Sarwindaningrum

Agam (17) dan Beri (27) menyambut kedatangan kami di tepian penyangga Taman Nasional Way Kambas, Lampung Timur, Sabtu (15/10) siang. Dua gajah yang lucu dan jinak itu segera menjadi pusat perhatian. Kami menyentuh, mengelus, dan memeluk belalainya, hingga tanpa kami sadari, air mata Agam meleleh.

”Apakah dia menangis?” kami bertanya kepada mahout, pawang yang duduk di punggung Agam. Kami khawatir telah mengusiknya. Namun, sang mahout mengatakan bukan karena kedatangan kami. Agam menangis karena tidak kuat menahan panas matahari.

Siang itu matahari memang bersinar terik di atas Provinsi Lampung, salah satu daerah yang menjadi rute Kompas Jelajah Sepeda Jakarta-Palembang (menyongsong SEA Games XXVI).

Di tempat itu tidak ada pepohonan untuk bernaung bagi satwa bertubuh besar itu, di tengah hamparan ilalang. Padahal, Agam masih harus memanggul empat orang dewasa berkeliling hutan di pinggiran TN Way Kambas. Sesekali mahout melecut kepalanya dengan gancu (sejenis alat pengait berujung tajam) ketika Agam enggan menurut.

Rombongan baru kembali sejam kemudian. Agam gelisah karena terik kian menusuk, namun gerakannya tertahan mahout dan gancunya. Ketika seluruh penumpang turun, Agam langsung meluncur ke sungai.

Agam dan Beri adalah gajah-gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) yang dijinakkan petugas di Pusat Latihan Gajah (PLG) Way Kambas. Proyek yang dimulai tahun 1985 ini telah menangkap sekitar 400 gajah liar, karena berkonflik dengan manusia di sekitar penyangga taman.

Gajah-gajah liar dijinakkan atas bimbingan seorang mahout asal Thailand, Thong Bai. Mahout melatih mereka menjadi pasukan penghalau gajah liar yang masuk ke perkebunan masyarakat. Agam dan Beri selanjutnya ditempatkan untuk berpatroli di perbatasan taman, Desa Tegalyoso.

Juru bicara Balai TN Way Kambas, Sukatmoko, bercerita, salah seekor gajah berusia 3 tahun ditemukan petugas tercebur dalam sumur warga. Petugas menyelamatkan dan membawa gajah bernama Kartijah yang berarti ”Kartini Gajah” ini ke PLG. Kartijah menjadi salah satu penghuni terlama ”sekolah” itu. ”Ia bahkan telah memiliki tiga anak, yang semuanya lahir di PLG,” ujar Sukatmoko.

Sejumlah masalah muncul pascaproyek tersebut. Biaya kebutuhan makan dan obat-obatan terus membengkak, seiring bertambahnya populasi gajah di PLG. ”Biaya menjadi masalah baru, sedangkan gajah-gajah terlatih ini belum bisa kami berdayakan maksimal,” tuturnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com