Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gurita Gula Rafinasi

Kompas.com - 29/07/2011, 02:41 WIB

Oleh Hermas E Prabowo

Mana yang sejatinya lebih mudah bagi pemerintah: mengontrol peredaran gula rafinasi di pasar bebas atau menambah besaran subsidi kepada industri kecil dan rumah tangga? Pertanyaan ini penting diajukan guna menguji kesungguhan pemerintah mewujudkan swasembada gula.

Bila pertanyaan di atas diajukan kepada publik dengan logika pikir sangat sederhana sekalipun, orang akan memilih yang kedua.

Alasannya sangat sederhana. Bila pilihan pertama diambil, sulit membuat sistem pengawasan terhadap peredaran gula rafinasi di pasar umum seperti yang terjadi belakangan ini.

Kepala Sekretariat Dewan Gula Indonesia Bambang Priyono, Senin (25/7) di Jakarta, mengungkapkan, kebutuhan gula tahun 2011 diperkirakan 4,67 juta ton. Atau bisa dikatakan kebutuhan gula tahun 2010 dan 2011 kembali normal setelah pada 2009 melonjak hingga 5,29 juta ton akibat terlalu banyak spekulan.

Kebutuhan itu terbagi atas gula untuk industri 1,98 juta ton, terdiri dari industri kecil 328.650 ton dan industri menengah dan besar 1,65 juta ton. Keseluruhan kebutuhan gula industri itu dipasok gula rafinasi yang diproduksi delapan perusahaan gula rafinasi dalam negeri.

Adapun kebutuhan gula konsumsi yang terbagi menjadi konsumsi langsung rumah tangga (1,9 juta ton); konsumsi khusus seperti untuk warung makan, rapat, dan warung (42.800 ton); serta konsumsi industri rumah tangga 278.650 ton. Total kebutuhan gula konsumsi 2,692 ton dipenuhi dari gula kristal rafinasi (GKP) yang dipasok perusahaan GKP, baik swasta maupun BUMN.

Bambang mengungkapkan, sejak dibangunnya PG rafinasi, sampai dengan tahun 2008 tidak pernah terjadi persoalan distribusi gula antara gula rafinasi dan GKP atau gula pasir. Masing-masing memiliki pasar sendiri. Industri gula rafinasi langsung memasok gula ke industri pengguna, yakni industri makanan dan minuman.

Mulai tahun 2009, keluarlah Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 111 Tahun 2009 mengatur soal distribusi gula rafinasi. Penyaluran gula rafinasi tak lagi langsung ke industri pengguna, tetapi melalui distributor. Pasokan gula rafinasi pun melonjak. Bila tahun 2005 hanya 759.708 ton dan 2006 sebanyak 1,1 juta ton, tahun 2009 naik menjadi 2,03 juta ton.

Karena pasokan gula sejak 2007 melimpah, harga gula tahun 2008 jatuh. Wakil Presiden Jusuf Kalla saat itu sampai harus memangkas impor gula 500.000 ton. Tahun 2009 harga kembali naik karena dipengaruhi gangguan produksi gula di India.

Karena produksi gula dunia rendah, tahun 2009 produksi gula dalam negeri langsung disambar industri. Produksi GKP 2,87 juta ton dan gula rafinasi tahun 2009 dipacu menjadi 2,03 juta ton.

Penyerapan gula tahun 2009 pun melonjak, dari yang idealnya berkisar 4,5 juta ton naik menjadi 5,2 juta ton. Tahun 2010 penyerapan gula kembali normal karena tidak ada spekulasi lagi dari spekulan yang mencoba mencari peruntungan dari lonjakan harga gula dunia.

Tata niaga tak tertata

Tidak jauh berbeda dengan tahun 2011, tahun 2010 penyaluran gula nasional tidak tertata baik. Saat itu 2,22 juta ton gula rafinasi disalurkan ke industri menengah besar, kecil, dan konsumsi industri rumah tangga. GKP juga disalurkan ke konsumsi industri rumah tangga dan industri kecil.

Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia Arum Sabil mengatakan, bila kesepakatan penggunaan gula rafinasi dipegang teguh, seharusnya tidak perlu terjadi kebocoran. Kebocoran distribusi terjadi akibat tidak adanya pengawasan dari pemerintah. Industri gula rafinasi dibiarkan menjual gula mereka ke pasar konsumsi.

Jika gula rafinasi hanya diperuntukkan bagi industri kecil, menengah, dan besar, besaran penyaluran gula rafinasi tahun 2010 mencapai 1,89 juta ton. Belum lagi dipotong konsumsi industri makanan minuman yang gulanya diizinkan mengimpor langsung sebesar 158.384 ton.

Dengan menghitung total kebutuhan gula tersebut, idealnya pasokan gula rafinasi hanya 1,73 juta ton, bukan 2,22 juta ton dari ketersediaan 2,63 juta ton. Dengan begitu, ada kelebihan pasokan sekitar 500.000 ton yang kemudian sebagian ”dibuang” ke pasar gula konsumsi. Padahal, sesungguhnya persediaan gula sudah melimpah, yakni 3,16 juta ton.

Kebutuhan gula untuk konsumsi langsung rumah tangga, konsumsi khusus, dan industri rumah tangga 2,56 juta ton. Akibat terdesak pasokan gula rafinasi, pada akhir tahun stok GKP menumpuk 852.000 ton yang hingga saat ini tidak laku dijual.

Adapun industri gula rafinasi kelebihan sisa stok 153.868 ton dalam bentuk gula rafinasi dan 271.428 ton dalam bentuk gula mentah. Kelebihan stok yang melimpah ini akibat pemerintah terlalu royal mengeluarkan izin impor sejak 2009 atau menjelang pemilihan umum dan pemilihan presiden.

Berbagai dalih

Tidak bisa dimungkiri kehadiran industri gula rafinasi juga turut menyelamatkan wajah pemerintah dari tekanan inflasi akibat kenaikan harga pangan, termasuk gula.

Dengan ketersediaan gula yang cukup di pasar, harga gula bisa lebih dikendalikan sekalipun sulit diwujudkan bila harga gula di pasar dunia meningkat. Saat itu gula tebu dalam negeri tetap diserbu industri.

Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi secara tidak langsung mengungkap cara melihat persoalan industri rafinasi dengan cara pandang berbeda.

Bagaimanapun, demikian Bayu, industri gula rafinasi turut berjasa. Kalau tidak ada gula rafinasi, siapa yang akan memasok kebutuhan gula hingga 3 juta ton.

Kehadiran gula rafinasi memang diperlukan. Kalau industri kecil, menengah dan besar bisa mendapatkan gula dengan harga lebih rendah dan kualitas lebih bagus, mengapa itu juga tidak bisa dinikmati industri rumah tangga dan konsumen rumah tangga di daerah-daerah yang jauh dari sentra produksi gula.

Gula rafinasi bisa lebih murah dan kualitasnya lebih bagus karena bahan bakunya gula mentah impor. Gula mentah itu diproduksi korporasi skala luas sehingga efisien, sedangkan petani tebu kepemilikan lahannya rata-rata hanya dua hektar.

Karena itu, tingkat harga gula rafinasi dan gula petani jelas tidak dapat dibandingkan langsung.

Kualitas gula rafinasi memang lebih bagus dan lebih putih karena gula rafinasi diproduksi mesin modern dengan sistem karbonatasi. Sementara pabrik gula yang mengolah tebu petani sudah tua dan masih memakai sistem sulfitasi.

PG yang mengolah tebu petani mayoritas milik BUMN atau pemerintah. Dengan kata lain, tinggi rendahnya daya saing gula petani juga tergantung pada pemerintah sebagai pemegang kendali industri gula BUMN.

Kalau pemerintah mengikat kaki petani dengan membiarkan revitalisasi industri gula tidak berjalan, bagaimana gula petani bisa bersaing?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com