Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menjadi Saksi Peristiwa 27 Juli

Kompas.com - 27/07/2011, 05:38 WIB

Tepat 15 tahun yang lalu, saya dikirim oleh Tuhan untuk menyaksikan “drama kolosal” perjalanan bangsa ini. Saat itu, pagi di hari Sabtu 27 Juli 1996 baru saja menggeliat di depan kantor DPP PDI, Jalan Diponegoro 58, Jakarta.

Burung-burung kutilang, saya kira, mulai berkicau padahal jam di tangan masih menunjuk angka 4. Sudah berhari-hari saya ronda di kantor ini untuk menanti klimaks ketegangan yang telah berlangsung sejak 20 Juni 1996. Sebuah klimaks yang telah diduga oleh banyak orang bakal menimbulkan kucuran darah, tangis, dan juga hilangnya nyawa dari raga.

Kehadiran saya di tempat ini, akhirnya saya sadari, ternyata bukan cuma karena saya seorang jurnalis yang perlu merekam dan kemudian melaporkannya kepada pembaca tentang semua peristiwa yang terjadi di tempat ini–sebuah tempat yang telah menjadi sengketa antara Partai Demokrasi Indonesia (PDI) kubu Megawati di satu sisi dan kubu Drs Soerjadi yang didukung pemerintah kala itu di sisi lain–melainkan ada semacam dorongan simpati dan empati terhadap para pendukung Mega yang telah dengan tulus mengorbankan waktu, harta, dan mungkin saja jiwa untuk Putri Bung Karno yang telah didzolimi oleh rezim Soeharto itu.

Itulah soalnya, saya pun dengan berat hati meninggalkan isri saya yang tengah hamil tua anak kedua kami nyaris tiap malam. Saya juga tak peduli, kendati redaktur saya tak menugaskan saya utk bermalam-malam di markas partainya “wong cilik” itu. Saya cuma kepingin menyaksikan “lakon” ini dari awal sampai purna.

Burung-burung masih berkicau. Rasanya hari itu akan berjalan seperti biasanya. Meski, pada tengah malam terjadi beberapa teror kecil yang sempat membuyarkan kerumunan massa yang tiduran di sisi kiri kanan jalan tersebut, tapi pada pagi yang berembun itu tak ada tanda-tanda khusus, bahwa kekacauan yang bakal mewarnai perjalanan bangsa Indonesia akan segera terjadi di depan mata saya.

Karenanya, beberapa teman wartawan yang semalam ronda di Gedung DPP PPP yang tepat bersebelahan dengan gedung DPP PDI, memilih pulang ke rumah atau berjaga di kantor masing-masing. Pun demikian dengan orang-orang yang semula tidur di pinggir jalan, sebagian pulang ke rumah, sedang sisanya memilih masuk ke Gedung DPP PDI. Termasuk serombongan orang yang semalam bicara dengan gagah berani akan mempertahankan gedung DPP PDI hingga titik darah penghabisan, pagi itu pun sudah tak kelihatan batang hidungnya.

Pikir saya, pengecut di mana-mana sama saja penampilannya. Banyak omong dan petantang-petenteng. Tiba saatnya situasi genting datang, mereka seperti bulus, menyembunyikan kepala. Baru setelah situasi reda, mereka muncul kembali seperti pahlawan.

Kawan saya hanyalah Willy, lelaki gondrong dan ceking yang kala itu bekerja untuk Pers Daerah (kini Willy bekerja di harian Warta Kota. Rambutnya tak gondrong lagi, dan tubuhnya juga sudah gemukan, menunjukkan  dirinya sudah lebih sejahtera).

Sambil mengisap rokok, kami masih terus berjaga seraya sesekali memperbicangkan kemungkinan penyerbuan terhadap simpatisan PDI pro Megawati Soekranoputri yang sedang mempertahankan gedung itu oleh entah siapa.

Berita rencana penyerbuan memang sudah terdengar hampir sepekan. Tinggal pilih hari, kata seseorang yang entah memungut informasi dari mana. Tapi sejak malam, berita-berita seputar situasi politik dalam negeri jadi bahan obrolan yang hangat. Termasuk berita kecelakaannya Letjen Soejono –yang kala itu jadi Kasum Abri–di Manado saat safari motor gede.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com