Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pusat Letusan Berada di "Meja Datar"

Kompas.com - 18/07/2011, 02:43 WIB

Brigitta Isworo L

Letusan terbesar Gunung Lokon terjadi pada Minggu (17/7) pukul 10.34 Wita. Namun, risiko bencana letusan yang membawa material ke ketinggian 3.500 meter itu jauh berbeda jika dibandingkan dengan letusan Gunung Merapi di Daerah Istimewa Yogyakarta akhir Oktober tahun lalu.

Gunung Lokon merupakan satu dari dua gunung yang berada di pinggiran Kaldera Tondano, yakni kawah gunung berapi yang sangat besar, terjadi karena letusan gunung berapi yang menyebabkan runtuhnya bagian puncak gunung berapi.

Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Surono menyebutkan, dua gunung lain adalah Gunung Soputan yang berada di arah barat laut Kaldera Tondano dan Gunung Mahawu. Gunung Lokon berada di bagian tenggara Kaldera Tondano.

”Tidak jelas benar seberapa tua gunung yang kawahnya berupa Kaldera Tondano tersebut,” kata Surono. Danau yang sebenarnya kaldera sangat luas lainnya adalah Danau Tondano, yang disebut-sebut sebagai kaldera sebuah gunung purba yang meletus sekitar 74.000 tahun lalu.

Meski berada di pinggiran kaldera yang sama, karakteristik Lokon amat berbeda dengan Gunung Soputan. Letusan Gunung Soputan berasal dari kubah lava yang terus-menerus dibentuk. Dari kubah lava tersebut, terjadi guguran material vulkanik yang diikuti awan panas guguran. ”Sebaliknya, Gunung Lokon tidak membentuk kubah lava,” kata Surono yang pada Minggu (17/7) masih di lapangan untuk memantau aktivitas Lokon.

”Jenis letusannya berbeda dengan Soputan yang meletus bulan lalu. Juga sangat berbeda dengan Merapi,” kata Surono.

Menurut dia, letusan Merapi yang eksplosif dengan energi amat besar menghasilkan awan panas eksplosif berwarna gelap karena membawa material vulkanik mulai dari debu vulkanik hingga material padat yang lebih besar.

”Kalau Lokon, menghasilkan awan putih ke atas karena merupakan uap air. Setelah itu baru diikuti dengan awan yang lebih gelap warnanya yang di dalamnya ada beberapa material vulkanik, seperti pasir dan kerikil,” ujarnya. Sepanjang sejarah yang terdokumentasikan, awan panas dari letusan Lokon hanya terjadi dua kali, yaitu tahun 1969 dan tahun 1991.

Letusan Lokon kali ini baru tercatat dua kali. Pertama, Jumat (15/7) malam dengan ketinggian letusan sekitar 2.000 meter dan pada Minggu pagi kemarin. Peningkatan aktivitas Lokon ditandai dengan status Siaga yang dikeluarkan PVMBG pada 27 Juni 2011 dan dilanjutkan peningkatan status menjadi Awas pada 10 Juli 2011. Letusan besar terjadi pada 14 Juli pukul 13.31 Wita.

Abu vulkanik kerikil dan gas tidak banyak. ”Lokon termasuk gunung miskin gas. Di Sulawesi Utara, hampir semua magma bersifat basaltik sehingga tidak kaya akan gas, berbeda dengan magma di Merapi yang bersifat andesitik yang banyak mengandung gas,” kata Surono. Basalt dan andesit merupakan jenis batuan yang terbentuk sesuai temperatur dan tekanan pada struktur dalam Bumi.

Di Lokon, yang terjadi adalah adanya air tanah yang terpanasi kemudian tertekan oleh timbunan tanah. Karena terakumulasi makin besar, akhirnya uap air keluar dari kawah. ”Maka, di Lokon yang keluar adalah awan berwarna putih,” ujar Surono.

Dia mengatakan, sampai Minggu sore aktivitas Lokon belum stabil, masih ada tremor vulkanik sehingga tidak bisa ditentukan bagaimana ke depannya. ”Saat ini statusnya masih tetap Awas,” ujar Surono.

Dua puncak

Gunung Lokon memiliki keunikan. Dia memiliki dua puncak, yaitu Puncak Lokon dan Puncak Empung. Keduanya berjarak sekitar 2-3 kilometer. Di antara kedua puncak tersebut, di bagian lembah, terdapat Kawah Tompaluan.

”Awan panas tersebut muncul di Kawah Tompaluan. Di lokasi datar. Puncak Empung terakhir kali meletus tahun 1829, sedangkan Puncak Lokon tidak terdapat catatan kapan meletus terakhir kalinya,” kata Surono.

Energi yang dimiliki Puncak Empung dan Puncak Lokon tak cukup kuat untuk menjebol puncaknya. Selain itu, cairan magma atau uap air di bawah juga tidak bisa mencapai kedua puncak tersebut.

Dengan ketinggian sekitar 1.580 meter untuk Puncak Lokon dan 1.340 meter untuk Puncak Empung, serta ketinggian kawah sekitar 1.000 meter di lembah di antara keduanya, ketinggian letusan hingga 3.500 meter kemarin tidak terlalu berisiko bagi penduduk karena terhalang oleh kedua puncak tersebut, demikian kata Surono.

Meja datar

”Selain itu, karena kawah tersebut berada di dataran, seperti meja, awan panas tersebut tidak menggelontor atau meluncur turun dengan cepat, tidak seperti awan panas dari letusan Gunung Merapi yang berlereng curam,” kata Surono.

Meski dari segi risiko bencana terhitung kecil, Surono memilih langkah teraman bagi sekitar 4.000 pengungsi. Namun, dia menyarankan agar ada sisi lain yang dilihat.

Sulawesi Utara yang memiliki tanah sangat subur dan jarang terserang kemarau panjang semestinya bisa dipandang sebagai aset pariwisata yang sangat berpotensi.

”Ketika sudah tidak berbahaya, sebenarnya letusan tersebut bisa menjadi pemandangan yang indah dan bisa dijadikan obyek pariwisata,” ujarnya.

Pernyataan Surono tak bermaksud mengecilkan ancaman bencana karena sebenarnya bagian kebencanaan menjadi tanggung jawabnya. Namun, keindahan Gunung Lokon yang kawahnya berada di lembah datar yang sedang meluapkan uap air panas sangat sayang untuk dilewatkan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com