Thomas P Widijanto
Ngelmu pring
Ngelmu pring
Dalam pemikiran dan spirit seperti itu pula pameran seni instalasi oleh para pengajar Pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, 2-9 Juli, digelar di pelataran kantor Dekan ISI Yogyakarta. Pameran bertajuk ”Divercity Through Bamboo Expression” ini salah satunya untuk merespons kehadiran pematung senior asal Australia. Max Lyle. ke Indonesia yang memamerkan satu karya berjudul ”Perjuangan”.
Karya Max seirama benar dengan filosofi ngelmu pring. Sebagaimana judul karyanya, Max menyusun puluhan lonjor bambu panjang membentuk segitiga trapesium. Tanpa perekat paku, bambu-bambu disusun saling menopang, saling menyangga antara bambu yang satu dan bambu yang lain. Saling topang inilah makna perjuangan. Bersatu padu menuju cita-cita. Pertemuan bambu-bambu di puncak trapesium itulah seperti menjadi hasil sebuah perjuangan. Puncak-puncak yang merupakan pertemuan antarujung bambu itu tidak seragam, ada yang pendek ada yang panjang. Seolah menyiratkan hasil perjuangan itu tidak seragam, tetapi penuh dinamika.
Di sekitar bentuk segitiga trapesium ini ada beberapa buah instalasi kecil-kecil yang mirip bangun sebuah perahu atau getek. Ada pula potongan-potongan bambu sepanjang satu meter yang disusun membentuk lingkaran. Ini mengingatkan orang pada bambu runcing senjata rakyat Indonesia saat melawan penjajah.
Bambu runcing? Sangat mungkin. Menurut Dwi Maryanto, penyelenggara pameran ini, Max banyak belajar tentang sejarah perjuangan bangsa Indonesia. ”Max sangat tertarik pada sikap keberagaman yang dimiliki Indonesia. Karyanya memang didedikasikan untuk rasa simpatinya kepada Indonesia,” katanya.
Karya tiga perupa, yakni Kadek Primayadi, Septiasti Finanda, dan Fx Damariati berjudul ”Utopia” mengesankan bentuk kesunyian. Perupa ini membuat pohon dengan bunga atau daun yang meranggas yang dibuat dari keranjang-keranjang bambu yang disusun menyerupai bintang yang ujungnya tumpul. Seperti judulnya, karya ini menunjukkan kefanaan, seolah-olah semuanya utopis belaka.
Susunan bambu-bambu besar (bambu ori) yang disusun saling bersilang ke berbagai arah adalah karya tiga perupa, yakni I Wayan Gede Budayana, Arsita Pinandita, dan Mahdi Abduulah. Karya ini mempertegas tentang bambu yang terus saling bertumbuh memberi ragam kebutuhan umat manusia. Karya ”Tumbuh dan Berkembang” itu adalah sebuah pencapaian naluri hidup manusia yang memang harus hidup bertumbuh dan berkembang.
”Dragon Cannon” adalah karya bambu yang membentuk ular naga yang bergerak menggeliat menyeramkan. Di bagian ekornya terpasang sebuah bentuk senjata meriam. Karya Setyo Priyo Nugroho ini mengingatkan peristiwa gempa bumi dahsyat yang terjadi di Bantul, DI Yogyakarta, tahun 2006 lalu. Gerakan tanah saat gempa di bagian dari Bumi Mataram itu seperti naga yang menggeliat marah yang akhirnya seperti senjata meriam gerakan naga itu meluluhlantakkan rumah-rumah dan menewaskan ribuan orang.
Demikian pula judul ”Shelter” karya Dendi Suwandi mengingatkan bencana bencana Gunung Merapi 2010 yang juga meluluhlantakkan warga Sleman, DI Yogyakarta. ”Shelter” adalah bangunan-bangunan dari pohon bambu yang dijadikan hunian sementara korban Merapi sebelum mendapatkan permukiman tetap karena wilayahnya banyak yang sudah tak layak huni.