Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

RUU Fakir Miskin: Perlukah Lembaga Baru?

Kompas.com - 13/06/2011, 03:44 WIB

Muhtadi

Hingga saat ini Rancangan Undang-Undang Fakir Miskin masih dibahas oleh pemerintah dan DPR, terutama terkait perlu tidaknya lembaga atau badan baru untuk penanggulangan kemiskinan.

Mengapa perlu lembaga baru? Pertama, terlalu banyak (19) kementerian yang saat ini punya program penanggulangan kemiskinan sehingga niat mengangkat harkat orang-orang yang kurang beruntung dari sisi ekonomi menjadi tidak efektif dan tidak fokus. Kedua, dengan banyaknya instansi yang menanggulangi kemiskinan, sulit dicapai koordinasi dan sinergi.

Agar fokus dan efektif, cukup satu lembaga. Pertanyaannya, perlukah lembaga atau badan baru untuk mengurus fakir miskin?

Pendirian badan baru jelas membebani anggaran negara. Ia bisa mengurangi pos bagi sektor lain. Birokrasi pun, dengan adanya badan baru, semakin gemuk sehingga tak lagi lincah melakukan kerja-kerja pembangunannya.

Di pihak lain kita mempertanyakan mangkus dan sangkil sebagian badan atau komisi yang sudah didirikan, khususnya dalam melayani publik. Sebagian badan atau lembaga pemerintah yang mungkin tak terlalu memberi dampak positif pada pembangunan layak dipangkas.

Survei Komisi Pemberantasan Korupsi tahun 2010 terhadap 353 unit layanan pemerintah menunjukkan kualitas layanan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah menurun dalam setahun terakhir. Tahun 2009 rata-rata indeks integritas nasional sebesar 6,5, sedangkan pada 2010 indeks yang sama merosot menjadi 5,42.

Bila RUU Fakir Miskin mengamanatkan perlu ada badan baru untuk menanggulangi kemiskinan, apakah itu tidak menambah beban baru bagi kita semua dalam rangka reformasi birokrasi untuk memberi layanan optimal bagi masyarakat. Bukankah badan baru tidak serta-merta membuat layanan menjadi berkualitas dan prima?

Kita tidak ingin melanjutkan kegemaran membuat badan atau lembaga baru sebab belum tentu membuat birokrasi mangkus dan sangkil. Bisa yang terjadi justru sebaliknya. Herbert M Levine berpendapat bahwa birokrasi kadang-kadang digunakan untuk hal-hal yang diremehkan sehingga keberadaannya canggung, tidak imajinatif, dan kaku.

Jangan mengajukan badan baru

Birokrasi yang kita cita-citakan adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Max Weber pada tahun 1947. Baginya, birokrasi merupakan tipe ideal bagi semua organisasi formal. Ciri organisasi yang mengikuti sistem birokrasi ini: ada pembagian kerja, spesialisasi, orientasi impersonal, kekuasaan hierarki, peraturan, dan karier yang panjang.

Pada intinya yang diperlukan bukan badan atau lembaga baru, tetapi bagaimana ciri-ciri tipe ideal itu dapat dilaksanakan dan diimplementasikan oleh aparaturnya.

Berdasarkan argumentasi itu, RUU Fakir Miskin tidak selayaknya mengajukan badan atau lembaga tersendiri. Lebih baik lembaga yang sudah ada difungsikan secara optimal dengan syarat-syarat berikut.

Pertama, penanggulangan kemiskinan harus satu pintu dan tidak lagi tersebar di 19 kementerian. Tujuannya agar penanggulangan kemiskinan menjadi lebih terkoordinasi dan terfokus. Pelaksanaan kebijakan dan program pengentasan orang miskin pun menjadi lebih tepat sasaran dan berdampak luas bagi peningkatan pendapatan masyarakat.

Kedua, pengelolaan lembaga yang sudah ada harus disesuaikan sebagaimana dituliskan oleh David Osborne dan Ted Gaebler dalam buku mereka, Reinventing Government. Upayakanlah mencari jalan keluar terhadap permasalahan birokrasi melalui penerapan konsep kewirausahaan, baik terhadap sistem birokrasi itu sendiri maupun terhadap aparaturnya.

Hal semacam ini perlu dilakukan agar lembaga penanggulangan kemiskinan itu menjadi inspirasi bagi pelayanan yang berorientasi kepada publik serta bergerak lebih cepat, antisipatif, dan responsif.

Mengubah, membangun, dan menciptakan birokrasi ideal seperti dalam konsep David Osborne dan Ted Gaebler jelas tidak semudah membalikkan telapak tangan. Selain membutuhkan sumber daya manusia yang andal dan berintegritas tinggi, konsep dan visi yang jelas juga memerlukan etos kerja yang berkesinambungan dan pantang menyerah.

Ketiga, lembaga pengelolaan untuk fakir miskin ini perlu secara konsisten melakukan reformasi, revitalisasi, atau restrukturisasi supaya dapat terus berkiprah dan memberi dampak positif bagi pengurangan angka kemiskinan di Tanah Air.

Keempat, aparatur yang mengelolanya dituntut memiliki daya saing, kecepatan yang tinggi, dan keakuratan dalam menyelenggarakan tugas-tugas penanggulangan kemiskinan.

Di sisi lain, inovasi-inovasi yang berasal dari aparatur yang mengelola fakir miskin dituntut untuk mendukung penguatan kelembagaan tersebut. Inovasi-inovasi ini diperlukan bagi lembaga itu sendiri dalam rangka memberikan pelayanan yang optimal sekaligus maksimal kepada seluruh pemangku kepentingannya.

Oleh karena itu, tarik ulur dan perdebatan dalam RUU Fakir Miskin antara DPR dan pemerintah tentang perlu tidaknya badan baru tidaklah relevan.

Yang terpenting adalah memberdayakan lembaga yang sudah ada dengan perbaikan-perbaikan pada bagian tertentu: sumber daya manusia, kewenangan, dan strukturnya. Dengan demikian, lembaga tersebut dapat memenuhi tuntutan masyarakat terhadap jasa pelayanan umum agar semakin meningkat, khususnya di bidang pengentasan kemiskinan. Tidak ada yang lain.

Muhtadi Pengajar di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com