Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Revitalisasi Gamelan Bali...

Kompas.com - 05/06/2011, 04:11 WIB

Putu Fajar Arcana

Hampir pada setiap orkestrasi kontemporer yang melibatkan musik tradisi, gamelan ”hanya” menjadi instrumen ”penderita”. Ia hanya dibutuhkan untuk memberi warna, seolah-olah musik-musik kontemporer itu memiliki gayutan yang erat dengan gamelan. 

I Wayan Gde Yudane dan I Dewa Ketut Alit, pada pergelaran Triple 2: New Music for Gamelan, A Tribute to Wayan Sadra, Minggu (29/5) di Bentara Budaya Bali (BBB) membuktikan bahwa gamelan bisa dimainkan secara berbeda. Keduanya tetap berangkat dari gamelan, tetapi memberinya sentuhan baru, di mana gending atau lagu tidak lagi menjadi tumpuan penciptaan. Pertunjukan ini juga direspons dengan penayangan video art sebagai tafsir terhadap komposisi musik.

”Banyak ada fusion, tetapi gamelan hanya ornamen belaka. Padahal orkestra seperti gong kebyar di Bali itu sebuah pencapaian yang dahsyat. Kita jangan merusaknya dengan mencomot-comot lalu memasukkannya ke dalam instrumen modern,” tutur Yudane, seniman tradisi yang bermukim di Australia.

Sebagai seniman tradisi yang menguasai cara bermusik Barat, Yudane dan Alit sejak setahun belakangan mengembangkan gamelan sebagai instrumen yang tidak lagi bertumpu pada nyanyian. Mereka menumpukan komposisi seperti ”Genetik” karya Alit dan ”Water 7” karya Yudane, yang dimainkan puluhan penabuh gamelan, pada kekuatan bunyi. ”Perangkat gamelan ini kami ciptakan sendiri dengan memperluas wilayah nadanya. Alatnya tetap gamelan, tetapi nadanya sudah kita interpretasi seperti nada-nada musik Barat,” ujar Dewa Ketut Alit, yang mengajar gamelan ke berbagai belahan dunia.

Perangkat gamelan yang mereka ciptakan tetap bisa memainkan notasi-notasi dalam musik tradisi. Malam itu, mereka memainkan tabuh pengantar ”Rerejangan” dan ”Bebarongan” yang sudah dikomposisi ulang. Dua tetabuhan itu dimainkan untuk memberi gambaran bahwa komposisi-komposisi berikutnya tetap bertumpu pada domain tradisi, tetapi telah melahirkan ”gen” baru yang bisa jadi menjadi kecenderungan pengembangan gamelan di kemudian hari.

Gamelan memang sudah menjadi sebuah penemuan Timur, khususnya Jawa dan Bali, dalam orkestrasi sebagaimana juga Barat menemukan orkestrasi pada musik klasik. Penemuan gamelan sebagai musik, kata Yudane, sesuatu yang sangat sempurna. ”Dan, itu sudah selesai. Kita tidak bisa seenaknya mencomot-comot yang sudah pasti akan jauh lebih rendah mutunya dibanding gamelan itu sendiri,” katanya. Oleh sebab itu, akan menjadi tantangan yang berat bagi para komposer di masa kontemporer di dalam memperlakukan gamelan. Mereka harus menemukan sebuah cara baru di dalam memainkan gamelan.

Suara berbeda

Dua komposisi ”Genetik” dan ”Water 7” menjadi menarik karena mengembalikan hakikat musik kepada bunyi. Komposisi-komposisi ini tidak sekadar meminjam gamelan sebagai instrumen, tetapi memperluas nadanya sehingga menghasilkan bunyi yang lebih kaya. Alat musik seperti reong yang biasanya terdiri dari 14 bilah diperbanyak menjadi 17 bilah. ”Penambahan ini bukan sekadar perluasan, tetapi memungkinkan kita memainkan komposisi yang disusun dengan notasi Barat,” ujar Alit.

Masalahnya kemudian, tidak mudah mengajak para pemusik tradisi Bali untuk menjajal gamelan dengan nada-nada baru itu. Para seniman Bali sudah sejak masa klasik memiliki kepekaan intuisi dan kecakapan teknik memainkan gamelan dengan gending-gending yang anonymous. Kepekaan itu menyangkut telinga dan spirit yang menggerakkan kecakapan secara teknik. Bukan sebuah upaya simplifikasi kalau kita sebut hampir semua orang Bali, terutama lelaki, bisa memainkan gamelan.

Ketika perangkat gamelan ”baru” diciptakan, sebagaimana dilakukan Yudane dan Alit, tidak mudah membuat para penabuh gamelan itu menghilangkan kebiasaan-kebiasaan lamanya. Barangkali mereka akan lebih mudah menguasai cara bermain gitar atau drum ketimbang harus mengubah cara mereka memukul gamelan. ”Ini memang bagian tersulit. Alatnya tetap gamelan, tetapi mereka harus memukul gamelan itu tanpa gending karena yang ada komposisi yang disusun berdasarkan musik kontemporer Barat,” tutur Yudane.

Peneliti budaya Bali asal Perancis Jean Couteau menangkap semangat revitalisasi dari apa yang dilakukan Yudane dan Alit. ”Mereka membuka jalan revitalisasi terhadap alat-alat berlempeng logam ke arah yang baru,’’ kata Jean.

Ia melihat upaya yang dilakukan Yudane dan Alit melebihi dekonstruksi terhadap gamelan yang pernah dilakukan oleh Wayan Sadra. Pada prinsipnya Sadra dan Yudane serta Alit ingin mengembalikan musik kepada bunyi. Cuma, Sadra cenderung menceraiberaikan orkestrasi menjadi instrumen-instrumen yang mandiri atau memukulnya dengan cara berbeda. Sementara Yudane dan Alit tetap bertumpu kepada orkestrasi, tetapi menciptakan nada-nada baru yang memperkaya gamelan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com