Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ibarat Menanti Linggis Mengambang

Kompas.com - 29/05/2011, 03:05 WIB

Anwar Hudijono dan Idha Saraswati

Sejumlah warga korban lumpur Lapindo mendirikan koperasi kecil-kecilan bernama Linggis Ngambang. Sekilas nama itu kedengaran ganjil. Adalah suatu hal yang mustahil linggis bisa mengambang. Potongan besi bulat itu kalau dimasukkan ke dalam air pasti tetap tenggelam.

Pemilihan nama itu merupakan refleksi dari keputusasaan mereka sejak terlanda dampak semburan lumpur Lapindo di area Sumur Banjarpanji-1 milik PT Lapindo Brantas Inc di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, 29 Mei 2006.

Misalnya yang dialami Lastri beserta sekitar 22 keluarga di Desa Gempolsari yang tak pernah menerima ganti rugi sepeser pun dari PT Lapindo. Padahal daerahnya merupakan area terdampak yang menjadi tanggung jawab Lapindo. Sawah dan ladang mereka sudah tenggelam oleh rembesan air dari kolam lumpur Lapindo. Hidup mereka pun terempas dari petani pemilik menjadi buruh tani atau penganggur.

Mereka hidup bagaikan berdiri di ujung duri karena jarak permukiman mereka dengan tanggul hanya sekitar 200 meter. Jika tanggul itu jebol, bisa menjadi bencana besar bagi mereka. Cerita mereka sehari-hari adalah kisah memelas dan mengenaskan.

Demikian pula yang dialami Nanik. Dia mengikuti skenario Lapindo, yaitu menerima ganti rugi 20 persen dibayar di awal dan yang 80 persen dicicil. Masalahnya, Nanik beserta ribuan korban yang lain sudah 10 bulan terakhir tak menerima pembayaran cicilan karena Lapindo beralasan tidak punya uang.

Namun, pada saat bersamaan Lapindo ingin melakukan pengeboran migas di Desa Kalidawir yang tidak jauh dari pusat semburan lumpur dan melakukan pendalaman beberapa sumur migasnya untuk melipatgandakan produksi. Tentunya untuk kegiatan itu berarti Lapindo punya biaya. Mengapa untuk membayar ganti rugi dibilang tidak ada uang?

Yang bikin kesal korban adalah sikap pemerintah di pelbagai tingkatan yang membuta atas realitas ini. Tak ada upaya paksa agar Lapindo membayar kewajibannya.

Korban yang menerima sistem cash and resttlement, yaitu dibayar dengan rumah di Kahirupan Nirwana Village (KNV) juga menghadapi masalah sendiri karena sampai sekarang sertifikat rumah tidak juga diberikan. Padahal janjinya paling lambat setahun. Mereka, seperti Sri, hidup penuh ketakutan sewaktu-waktu rumahnya bisa dirampas karena tidak punya sertifikat. Apalagi Lapindo punya rekam jejak lebih menggunakan pendekatan legal formal semata.

Tidak kalah ngenas adalah ribuan keluarga di 45 RT di empat desa yang tergulung dampak lumpur Lapindo tetapi tak masuk area terdampak. Mereka tidak mendapat ganti rugi. Padahal, rumah mereka rusak, sawah dan ladang juga hancur. Keselamatan mereka selalu terancam karena munculnya bubble (semburan gas yang bisa terbakar). Mereka sudah puluhan kali berdemo dari tingkat Sidoarjo sampai nasional menuntut ”hak sosial” mereka. Terakhir, Kamis (26/5), mereka menutup Jalan Raya Porong. Namun, mereka seperti bicara kepada tembok. Hasilnya nihil!

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com