Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Panjang Rel 4.678 Km

Kompas.com - 20/05/2011, 08:22 WIB

KOMPAS.com — Berapa panjang rel di negara Anda? ”Hanya 4.500-an kilometer,” jawab seorang teman kepada seorang penjaga stan pada pameran teknologi perkeretaapian di sebuah negara di Eropa. Penjaga stan itu seperti tidak yakin hanya sepanjang itu. Dia seakan mencibir perkeretaapian di Indonesia.

Akan tetapi, begitulah kenyataannya. Dalam hal panjang rel, Indonesia memang tertinggal. Kini ada 91.000 km panjang rel di China dan sekitar 65.000 km rel di India. Di Indonesia, hingga tahun 2010 ada sekitar 6.714 km rel, tetapi hanya 4.678 km yang beroperasi. Ada tambahan 300 km rel baru, tetapi berupa rel ganda, bukan jalur baru.

Ironisnya, walau panjang rel terbatas, lahan peruntukan rel terus diokupasi. Tiang pancang jalan layang (flyover) Jalan Diponegoro-Pasar Kembang di Surabaya, misalnya, akan ”menggusur” sebagian lahan trem Karangpilang-Dermaga Ujung. Trem ini pernah dioperasikan hingga tahun 1978.

Melepas aset lahan kereta non-operasional untuk jalan layang merupakan kemunduran. Siapa pun yang mengizinkan pelepasan aset itu sepertinya sangat minim pemahaman pentingnya transportasi massal untuk mobilitas warga kota.

Pasal 401 Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Perkeretaapian bahkan menyatakan, ”… semua jalur kereta api yang tidak aktif adalah berstatus ’ditutup sementara’, bukan untuk ditutup selama-lamanya”.

Maksudnya, bila nanti Pemerintah Kota Surabaya dan manajemen Daerah Operasi VIII PT Kereta Api Indonesia mau menghidupkan trem untuk mengantisipasi kemacetan, tidak perlu sulit lagi membebaskan lahan. Soalnya, pembebasan lahan di negara ini ibarat menegakkan benang basah. Janganlah meniru apa yang terjadi di Jakarta, dengan jembatan layang dan lintas bawah (underpass) yang tak juga menuntaskan kemacetan.

Sebaiknya tidak ada ”tekanan” kepada PT KAI untuk melepas aset lahan rel sebab PT KAI punya rencana bisnis dan visi untuk terus mengembangkan jaringan kereta api, termasuk trem, bagi warga yang kian terancam kemacetan total di kota-kota besar.

Di sejumlah kota besar dunia, revitalisasi trem justru terjadi, seperti di Berlin, Barcelona, dan Stockholm. Kota-kota ini go green dan meminimalkan biaya eksternalitas dari kemacetan. Sebaliknya, kota di Indonesia lebih condong pada pemborosan subsidi bensin yang kental polusi gas buang.

Kota-kota di Asia juga makin condong ke kereta api. China, misalnya, menginvestasikan miliaran dollar AS bagi jaringan kereta cepat. China punya obsesi mengoneksikan Beijing-Singapura dan Beijing-Delhi-Teheran-London.

Jaringan kereta cepat, menurut Jurnal Global Asia, Spring 2011, akan mengubah sistem perekonomian Asia. Dalam jurnal ditegaskan, "some cities will win and some will lose, beberapa kota bakal menang, beberapa lagi menjadi pecundang”.

Andai pemimpin Indonesia visioner, tentunya ”menarik” jaringan kereta cepat ini melintasi Selat Malaka dan Selat Sunda supaya Jakarta terkoneksi dengan Beijing. Supaya perekonomian kita tak dikucilkan dari Asia yang segera berubah.

Namun, jaringan kereta cepat sebagai tulang punggung tentu butuh jaringan kereta lokal sebagai angkutan pengumpul. Namun, bila pengokupasian lahan rel seperti di Surabaya terus berlangsung, pada titik ini kita sudah dapat meramalkan ”kekalahan” Surabaya dan juga  ”kekalahan” kota-kota besar lain yang terus menggusur lahan rel…. (HARYO DAMARDONO)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com