Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Emas Putih" Bandung Selatan

Kompas.com - 27/04/2011, 10:49 WIB

BANDUNG. KOMPAS.com — Senja mulai merayapi Desa Tarumajaya Kecamatan Kertasari di lereng Gunung Wayang, Bandung selatan, Senin (21/3) petang. Mojang-mojang berbalut baju rajut dan beberapa anak kecil berduyun-duyun menenteng milk can, wadah susu berwarna perak dari baja tahan karat, menuju unit koperasi penampungan. Tawa kecil mereka menghangatkan hawa dingin yang kian menusuk tulang.

Suasana bersahaja itu saban hari rutin terlihat di Desa Tarumajaya, dekat Situ Cisanti, hulu Sungai Citarum, Jawa Barat. Gambaran khas desa peternakan sapi perah yang merupakan salah satu mata pencaharian utama masyarakat pegunungan Bandung selatan.

Bagi peternak, sapi perah merupakan tumpuan hidup. Untuk itu, seluruh anggota keluarga terlibat di dalamnya. “Biasanya yang mencari pakan rumput, kakak saya laki-laki. Kalau bapak membersihkan kandang dan memberi pakan, sedangkan ibu memerah susunya. Saya yang mengantarkan susu ke koperasi tiap pagi dan sore,” tutur Oneng (15), perempuan anak peternak sapi di desa Tarumajaya.

Aceng (60) yang telah sekitar 20 tahun bergantung hidup dari penjualan “emas putih” mengatakan, beternak sapi perah memang modalnya cukup banyak. Ia mencontohkan, harga satu ekor sapi perah kualitas super yang dapat menghasilkan 20 liter susu per hari mencapai Rp 12 juta.

Aceng yang mantan pegawai perkebunan kina di Kertasari, semula hanya memiliki dua ekor sapi yang dibelinya pada 1990 seharga Rp 10 juta. Dari ketekunannya, ia kini memiliki delapan ekor sapi, dua hektar sawah, dan bisa mendirikan sekolah mengaji di dekat rumahnya. Bahkan, dia naik haji dari beternak sapi perah.

Untuk mendapatkan ternak sehat, Aceng sangat memerhatikan pakan dan kebersihan kandang. Pakan sapi lazimnya berupa campuran konsentrat dan rumput. Jika ditotal, menurut Aceng, biaya pemeliharaan delapan sapi miliknya sekitar Rp 240.000 per hari. Sedangkan harga susu dari koperasi Rp 3.000-Rp 3.300 per liter tergantung kualitas.

Jika seekor sapi bisa menghasilkan rata-rata 14 liter per hari saja, dengan asumsi per liternya dihargai Rp 3.100, penghasilan kotor Aceng mencapai Rp 347.200. Dikurangi biaya pemeliharaan dan potongan koperasi, setidaknya Aceng mendapatkan Rp 100.000 per hari atau Rp 3 juta per bulan.

“Asal tekun, dari beternak sapi bisa buat menabung. Kalau ada peternak enggak juga bisa berkembang biasanya karena malas memelihara pedet (anakan sapi). Padahal, memelihara pedet sama saja berinvestasi,” tutur Aceng.

Sapi Unggul

Sejak zaman pendudukan Belanda, Bandung selatan sudah menjadi salah satu sentra peternakan sapi perah. Haryoto Kunto dalam Wajah Bandoeng Tempo Doloe (1984) menyebutkan, sejak awal tahun 1800-an, sapi-sapi impor jenis unggul mulai didatangkan dari Friensland, “negeri leluhur” sapi perah di Belanda.

Di Pangalengan peternakan saat itu dikelola perusahaan Belanda, De Friesche Terp, Almanak, Van Der Els dan Big Man. Susunya ditampung dan dipasarkan Bandoengche Melk Centrale (BMC) yang hingga kini masih berdiri di Pusat Kota Bandung. Begitu banyaknya sapi-sapi bibit unggul dari wilayah Friesland Belanda yang diternakkan di Pangalengan, daerah ini pernah disebut “Friesland in Indie” atau Friesland-nya Hindia (Indonesia).

Setelah masa penjajahan Jepang, para peternak Pangalengan mendirikan koperasi pertama pada 1949 dengan nama Gabungan Petani Peternak Sapi Indonesia Pangalengan (Gappsip). Pada 1961, Gappsip tak mampu menghadapi labilnya perekonomian dan tata niaga persusuan yang dikuasai tengkulak.

Saat itulah, Daman Danuwidjaja (alm) dan beberapa tokoh masyarakat Pangalengan mendirikan Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS). Pembangunan instalasi milk treatment mampu menangkal ulah tengkulak. KPBS pun berkembang pesat dengan jumlah karyawan saat ini mencapai 250 orang. Begitu pula peningkatan jumlah anggota dari sekitar 600 peternak menjadi 5.200 peternak.

Ketua Umum KPBS Aun Gunawan mengatakan, populasi sapi milik anggota bertambah dari 2.000 ekor pada 1961, menjadi 22.000 ekor. Demikian halnya kapasitas produksi koperasi saat ini lebih kurang 135 ton per hari, dengan 95 persen merupakan susu segar.

Dilema Limbah

Walau begitu, geliat peternakan sapi perah di hulu Citarum bukannya tak meninggalkan persoalan lingkungan. Populasi sapi mencapai 6.000 ekor ternyata belum dibarengi manajemen pengelolaan limbah yang memadai. Keterbatasan lahan menyebabkan para peternak berpikir pendek dan membuangnya begitu saja ke aliran sungai tanpa diolah.

Ini menyumbang persoalan sedimentasi yang terbawa sungai hingga ke daerah yang lebih rendah. Belum lagi kandungan bakteri eschericia coli (e-coli) yang menyebabkan gangguan kesehatan jika dikonsumsi. KPBS mencatat, dari sekitar 18.500 ekor sapi perah di seluruh Bandung selatan, volume limbah kotoran yang dihasilkan mencapai 8.600 ton per bulan!

Pengamatan Tim Ekspedisi Citarum Kompas, pembuangan limbah ternak sudah dimulai 700 meter selepas Situ Cisanti. Ketua Masyarakat Peduli Sumber Air (MPSA), Dede Juhari, mengatakan, kondisi itu mebuat air Sungai Citarum tak memenuhi baku mutu air minum golongan A, yakni air yang dapat digunakan sebagai air minum secara langsung tanpa pengolahan terlebih dulu. Padahal, dengan membuang limbah ternak begitu saja, peternak membuang kesempatan mendapat nilai tambah dengan mengolahnya menjadi biogas dan pupuk.

Mengenai persoalan limbah kotoran, Aun mengatakan, pihak KPBS berencana memaksimalkan pengolahan kotoran sapi menjadi pupuk organik. Pupuk tersebut di antaranya bisa disalurkan memenuhi kebutuhan perkebunan teh di Pangalengan. Ia juga berharap, pemerintah membantu pembiayaan pembuatan reaktor biogas dari limbah sapi.

Selain pembuangan limbahnya yang disorot, peternak juga didera persoalan harga susu yang tak kunjung naik. Sudah dua tahun ini, harga jual susu dari koperasi ke industri pengolahan susu (IPS) seharga Rp 3.500-Rp 3.700 per liter. Ini paling rendah di Asia Tenggara. Di Filipina, harga dari peternak ke koperasi sekitar Rp 4.800 per liter. Di tingkat yang sama, harga di Thailand sekitar Rp 5.022 per liter, di Vietnam Rp 4.000 per liter, dan Malaysia sekitar Rp 5.400 per liter.

Sementara itu, Ketua Gabungan Koperasi Susu Indonesia Dedi Setiadi yang juga ketua Koperasi Peternakan Susu Bandung Utara (KPSBU) mengakui, negosiasi kenaikan harga dengan kalangan IPS masih alot. Peran pemerintah juga sangat minim dalam menengahi persoalan ini.

“Satu-satunya jalan yakni dengan mengoptimalkan industri hilir pengelolaan mandiri yang sudah dimiliki  KPBS dan KPSBU. Tentunya, didahului penetrasi pasar yang intensif. Sehingga lambat laun, peternak dan koperasi tak lagi terlalu bergantung pada IPS,” ujar Dedi. (Gregorius M Finesso/Didit Putra/Mukhamad Kurniawan)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com