Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kerusakan Citarum Merugikan Semua Pihak

Kompas.com - 26/04/2011, 12:07 WIB

BANDUNG, KOMPAS.com — Kerusakan Sungai Citarum di Jawa Barat akibat pencemaran dan sedimentasi yang hebat telah merugikan semua pihak, baik pemerintah, pusat listrik tenaga air (PLTA), petani, pembudidaya ikan, maupun rakyat Indonesia. Dunia usaha juga rugi karena Citarum setiap musim hujan meluap menggenangi kawasan industri di Cekungan Bandung.

Padahal investasi tesktil dan produk tekstil saja di daerah aliran Citarum mencapai sekitar Rp 80 triliun. Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jawa Barat Deddy Wijaya mengatakan, saat banjir Citarum melanda selama sebulan penuh, Maret 2010 silam, kerugian semua jenis industri di Kabupaten Bandung, Purwakarta, dan Karawang mencapai Rp 200 miliar. Kerugian dialami lebih dari 200 perusahaan. Selain TPT, pabrik-pabrik yang berhenti operasi bergerak dalam bidang otomotif dan elektronik.

Pemerintah kini harus meminjam dana untuk merehabilitasi Daerah Aliran Sungai Citarum sebesar Rp 35 triliun dalam Citarum Road Map atau peta rancangan proyek yang dikoordinir oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Sementara Pemerintah Provinsi Jabar juga membuat perencanaan penanganan Citarum terpadu. Untuk membebaskan tanah di hulu Citarum saja perlu dana sekitar Rp 3,6 triliun.

“Sayangnya, program ini lebih mendahulukan hilir yakni perbaikan irigasi Tarum Barat, padahal persoalan besar Citarum berada di hulu,” ungkap Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Jawa Barat Setiawan Wangsaatmadja. Staf ahli Gubernur Jawa Barat  Dede Mariana menyebutkan, harus ada kesadaran baru dari semua pihak bahwa mengurus Sungai Citarum itu harus terintegrasi. Yakni sinergi dari hulu hingga hilir.

“Semuanya harus terbuka bila ada dana pinjaman atau utang luar negeri karena itu beban bagi rakyat Indonesia,” ungkap Dede yang juga guru besar Ilmu Politik Universitas Padjadjaran Bandung ini.

Data dari Cita-Citarum, lembaga mitra Bappenas yang mengkordinir proyek itu menyebutkan, Citarum Road Map, meliputi 80 kegiatan yang dilaksanakan dalam kurun waktu 15 tahun (2010-2025) dengan biaya 3,5 miliar dollar AS atau sekitar Rp 35 triliun. Dana itu bersumber dari fasilitas pembiayaan bertahap Asian Development Bank (ADB), Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan sumber pendanaan dari donor lainnya. Pendanaan pinjaman ini dilakukan secara bertahap sesui dengan perkembangan.

Merusak turbin listrik

General Manajer Indonesia Power unit bisnis pembangkit Saguling Erry Wibowo mengungkapkan, akibat pencemaran itu peralatan turbin menjadi cepat rusak akibat pengkaratan yang cepat. “Kami harus menggantinya segera karena kalau terlambat menggganti akan mengganggu sistem operasi,” ujarnya.

PLTA Saguling memproduksi listrik 2.156 gigawatt per jam selama setahun. Tahun 2010, produksi Saguling melimpah hingga 4.000 GwH karena tingginya curah hujan. Saguling juga terhubung dalam sistem kelistrikan interkoneksi Jawa-Bali.

Listrik sebesar 2.156 GwH bisa digantikan dengan menghabiskan 667.000 barel bahan bakar minyak. Kalau harga solar subsidi Rp 4.500/liter, maka nilainya Rp 351 triliun.

Kotornya air Citarum juga telah menumbuhkan berbagai vektor penyakit. Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPHLD) Jawa Barat mencatat, di Saguling ditemukan jenis vektor penyakir seperti nyamuk, moluska, cacing dan tikus.

Jenis-jenis hewan itu dikenal sebagai pembawa penyakit seperti malaria, demam berdarah, cacing atmbang, dan tipus.

Malah penelitian tahun 2005 vektor-vektor itu mempunyai kemetakan/probabilitas tinggi sebagai sumber terjadinya out break pada manusia.

Sedimentasi juga mengancam produksi listrik PLTA Cirata dan PLTA Ir H Djuanda karena usia waduk berkurang. Sementara pencemaran melambungkan ongkos perawatan PLTA karena meningkatkan laju korosi. Umur generator pendingin, misalnya, berkurang dari 5-7 tahun menjadi 2-3 tahun karena terkorosi.

Padahal, PLTA Cirata memproduksi listrik rata-rata 1.428 gigawatthour (GWh) per tahun, sementara PLTA Ir H Djuanda 690 GWh per tahun. Bersama PLTA Saguling, keduanya menyumbang kebutuhan listrik pada interkoneksi Jawa-Bali.

Merugikan petani

Tingginya sedimentasi dan pencemaran limbah industri dan rumah tangga pada Sungai Citarum menyebabkan sekitar 100.000 hektar sawah yang mendapat pengairan dari sungai itu tidak produktif. Kerusakan sungai itu mengakibatkan berkurangnya pasokan air irigasi, sehingga Jabar kehilangan potensi sekitar Rp 16 triliun per tahun.

Staf Ahli Gubernur Jabar Anang Sudarna menjelaskan,  Sungai Citarum mengairi sekitar 300.000 hektar sawah di Kabupaten Bandung, Bandung Barat, Kota Bandung, Cimahi,Kabupaten Cianjur,Purwakarta,Karawang, Subang, dan Indramayu.

Dari sekitar 100 ribu hektar saja, Anang menghitung, potensi kerugiannya bisa mencapai Rp 16 triliun per tahun. Jika kondisi ini dibiarkan akan mengganggu ketersediaan pangan nasional, karena Jabar merupakan salah satu lumbung beras nasional.

Buruknya kualitas air juga telah menghancurkan budi daya ikan keramba jaring terapung (KJA) di Saguling, Cirata dan Jatiluhur. Ketua Pakan Aquakultur Gabungan Pengusaha Makanan Ternak (GPMT) Denny D Indradjaja membenarkan, pasokan pakan ikan selama lima tahun terakhir terus turun ke waduk ini.

Para pembudidaya ikan di Waduk Cirata, hilir Saguling, semula bisa menyerap 10.000 ton pakan ikan setiap bulannya. Secara perlahan terus turun dan tahun 2010 lalu sudah anjlok hingga 4-5 ton per bulan. Angka yang hampir sama juga terjadi di Waduk Jatiluhur, di hilir Cirata.

Harga pakan ikan di tingkat pembudidaya berkisar Rp 5.000 per kg. Di waduk Cirata saja, investasi KJA mencapai Rp 2,5-3,5 triliun. Ini terhitung dari 50.000-70.000 KJA yang nilainya per KJA Rp 50 juta. Di Jatiluhur ada sekitar 17.000 KJA yang total investasinya Rp 850 miliar.

Di wilayah hilir, air tawar Sungai Citarum diperlukan untuk mengurangi keasinan air tambak menjadi payau sehingga kondusif bagi tumbuhnya ikan bandeng. Akibat airnya tercemar kini puluhan ribu hektar di kawasan pesisir pantai utara Karawang dan Bekasi tak bisa ditanami udang windu.

Di Desa Pantai Bahagia saja terdapat 3.000 hektar tambak, 1.000 hektar di antaranya rusak terkena abrasi. Areal tambak di kawasan muara Citarum terdapat di lima desa dalam Kecamatan Muaragembong, Kabupaten Bekasi dan empat desa di Kecamatan Pakisjaya, Karawang. Di wilayah hilir Citarum terdapat sekitar 30.000 hektar tambak bandeng. Akibat pencemaran udang windu yang berpotensi menghasilkan Rp 20 juta per hektar/tiga bulan hilang. Berarti petambak kehilangan potensi dari tambak ini sekitar Rp 600 miliar atau Rp 2,4 triliun per tahun.(MKN/ELD/DMU)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com