Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perintis Kebangkitan Citarum

Kompas.com - 25/04/2011, 13:24 WIB

BANDUNG, KOMPAS.com — Kecamatan Kertasari yang menjadi hulu Sungai Citarum menarik minat banyak orang, termasuk Agus Derajat (44), untuk menanami sayuran meski akhirnya harus dikategorikan sebagai perambah. Kini, dia justru berada paling depan untuk menjaga daerah tangkapan air bagi sungai yang menghidupi jutaan orang ini.

Barangkali Situ Cisanti bisa menjadi kesaksian bagi kiprah Agus yang kini menjabat selaku Ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Tarumajaya. Situ Cisanti berasal dari kumpulan tujuh mata air yang dibendung hingga menjadi danau. Danau tersebut dikelilingi pepohonan yang tumbuh subut dan menjadi bagian dari arboretum Wayang Windu. Wilayah tersebut masuk dalam Petak 73 Perhutani yang menjadi kewenangan LMDH Tarumajaya.

"Kondisi tahun 2002 sangat jauh berbeda. Lereng gunung dipenuhi kebun sayur, pohon hilang karena ditebangi, mata air tidak memancar," kata Agus.

Sebagai Ketua LMDH Tarumajaya, Agus bersama Perhutani ikut mengajak penggarap sayuran untuk turun dari wilayah hutan. Sebagai gantinya, dia menganjurkan agar komoditasnya dialihkan menjadi tanaman kopi.

Upayanya terbilang sukses. Petak 73 yang menaungi Situ Cisanti kembali rimbun, tujuh mata air kembali mengalirkan airnya yang jernih. Pepohonan eukaliptus berdiri jangkung menyambut siapa pun yang berkunjung ke Situ Cisanti.

Hanya saja, hal yang sama belum bisa dilakukan di petak yang lain. Agus menuturkan bahwa Petak 73 mendapatkan perlakuan istimewa karena menjadi hulu Sungai Citarum sehingga program lintas sektor pun dikucurkan di sana. "Harusnya upaya serupa juga diulangi di petak lain," katanya.

Pekerjaan rumah yang belum diselesaikan adalah mencari komoditas yang bisa membuat petani berpaling dari sayuran. Agus menuturkan bahwa lahan kopi seluas 2 hektar hanya bisa menghasilkan keuntungan Rp 2 juta tiap panen sementara sayuran bisa menghasilkan dua hingga tiga kali lipat dalam waktu empat bulan saja. Komoditas lain seperti rumput gajah maupun murbei juga tidak bisa diharapkan karena permintaannya tidak jelas.

Tambahan Penghasilan

Agus awalnya datang ke Kertasari di tahun 1987 karena penempatannya sebagai guru. Lulus setahun sebelumnya dari Sekolah Pendidikan Guru dengan spesialisasi matematika. Dia mengajar di SDN Tarumajaya sebagai wakil kelas VI.

Perkenalannya dengan budidaya sayur dimulai setahun setelah tinggal di Kertasari. Dengan penghasilan saat itu sebesar Rp 400.000 per bulan, dia ingin mencari tambahan. Dari sana Agus tertarik untuk menanam sayur secara berpindah-pindah di lahan Perhutani dengan garapan seluas 15 hektar. Saat itu, wilayah tersebut masih dikategorikan sebagai hutan produksi dengan komoditas pinus dan kayu putih.

"Kondisi hutan tahun 1988 masih sangat bagus. Gunung Wayang masih dikenal karena keangkerannya," ujarnya.

Maraknya pemberian Kredit Usaha Tani sekitar tahun 1998 membuat semua orang kian mudah memiliki modal untuk menjadi petani. Hal itu menimbulkan dampak serius kepada perkebunan sayur di Kertasari, orang yang datang dengan uang banyak lalu menyewa tanah garapan. Alih fungsi wilayah hutan menjadi lahan sayuran berlangsung dengan laju yang agresif dan berlangsung hingga 2002.

Kenyataan tersebut mengejutkan Agus sehingga memilih berbalik dan melawan arus. Dia sadar bahwa ada dua kepentingan yang sedang beradu yaitu memenuhi kebutuhan ekonomi serta kelestarian lingkungan yang dibutuhkan lebih banyak orang. Dia pun mengajak tokoh petani penggarap untuk berserikat dan mendirikan Forum Petak 73 sebagai wadah yang berisi 334 kepala keluarga.

Melalui musyawarah, aspirasi warga dikumpulkan dan dicatat satu per satu, dari sana kemudian disampaikan kepada Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Aspirasinya saat itu adalah mereka bersedia turun dari wilayah hutan asalkan ada pengganti komoditas untuk menghidupi keluarga. Salah satu solusi yang ditawarkan adalah sapi perah yang bisa diadakan melalui mekanisme kredit atau hibah.

Pembunuh Petani

Keinginan pemerintah untuk menurunkan perambah ternyata tidak dibarengi dengan kekuatan anggaran. Dari 334 kepala keluarga yang ada di bawah Forum Petak 73, ternyata hanya mendapatkan bantuan domba sebanyak 580 ekor dengan skema setiap keluarga mendapat 11 ekor sehingga hanya 52 keluarga yang mendapatkan jatah bantuan.

Kondisi tersebut membuat posisi Agus terpojok, tidak ada solusi bagi 282 keluarga lain sambil menunggu domba yang dipelihara 52 keluarga hingga beranak dan bergulir. Demi menghindari keributan, dia membagi domba-domba tersebut kepada seluruh anggota meskipun tidak disarankan karena tidak efektif. "Yang penting mereka turun terlebih dahulu," katanya.

Tindakan Agus yang mengajak petani untuk turun dari perambahan membuatnya dapat julukan kurang mengenakkan, pembunuh petani. Yang membuat dia sakit hati, ada orang tua yang sengaja memindahkan anak mereka dari sekolah yang diajar Agus gara-gara tindakannya.

Sebutan itu tak lantas membuatnya ciut. Akhir tahun 2003, dia terpilih menjadi Ketua LMDH Tarumajaya yang menjadi cikal bakal LMDH Perhutani. Beranggotakan 786 orang, wilayahnya seluas 700 hektar, meliputi tujuh petak Perhutani.

Dia mengakui, sampai sekarang masih ada anggotanya yang tetap menanam sayur di wilayah Perhutani. Namun hal tersebut takkan membuatnya menyerah. "Tidak bisa menggunakan pendekatan represif, harus sabar membina dan menyadarkan mereka," kata Agus.

Sebagai guru, dia juga menyelipkan materi lingkungan. Setiap hari Sabtu, dia mengajak para murid untuk berjalan-jalan ke Cisanti dan melihat sendiri manfaat dari cinta lingkungan. Dengan sendirinya, sebutan pembunuh petani pun perlahan meredup.

Masalah Lahan

Selain LMDH, Agus juga dipercaya sebagai Ketua Forum Kertasari Bersatu yang menaungi kalangan lebih luas lagi. Salah satu agenda mereka adalah mengadvokasi warga agar memiliki lahan garapan.

"Akar masalah di Kertasari adalah keterbatasan lahan yang bisa diolah sehingga membuat warga tidak punya pilihan selain merambah hutan," katanya.

Kecamatan Kertasari memiliki luas 15.000 hektar, hanya 1.000 hektar yang statusnya milik masyarakat, sisanya terbagi dalam wilayah Perhutani atau PT Perkebunan Nusantara VIII. Dengan lahan seluas 1.000 hektar, jelas masalah timbul karena jumlah penduduk mencapai 66.000 jiwa.

Saat ini, mereka memanfaatkan tanah milik PTPN VIII yang dianggap telah habis masa Hak Guna Usahanya seluas 1.053 hektar. Dia mengkhawatirkan masalah lebih besar bakal timbul bila pemerintah menutup akses ke tanah perkebunan itu yakni masyarakat kembali naik ke hutan.

Agus Derajat

  • Lahir: 21 Agustus 1967
  • Pendidikan Terakhir: 2008 – S1 Universitas Pendidikan Indonesia Jurusan Matematika
  • Istri: Elit Siti Mariah (41)
  • Anak: Rihana, Bella, Sopia, Eva, Anggi

     

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com