Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Suku Marind Hidup di Antara Busur dan Pacul

Kompas.com - 17/04/2011, 15:11 WIB

Oleh Erwin Edhi Prasetyo dan Timbuktu Harthana

 
Cornelia Mahuze (60) mengaso di pematang sawahnya, di Kampung Urumb, Merauke, Papua. Dinaungi bivak dari terpal kusam, ia   melepas penat sehabis panen padi. Di belakangnya, tertumpuk karung berisi gabah yang siap diangkut ke rumah. Usia senja tak menyurutkan semangat perempuan suku Marind ini untuk bertani.

Siang itu, Minggu (10/4), langit cerah ketika kami berjumpa dengannya di dusun yang sunyi -- sebuah tempat yang terletak di ujung timur Nusantara. Kami menjangkau dusun   ini setelah melintasi savana dan menembus lebatnya pohon bus, dan sela-sela musamus (rumah rayap).

Suku Marind yang mendiami Merauke, pesisir Selatan Papua kini bergelut dengan modernisasi. Tombak, busur, pasak, dan kahanggat (batang bambu yang diruncingkan), perlahan diganti pacul, sekop, dan traktor. Meski hasrat berburu tetap menyala.

Cornelia bersama 200-an keluarga di Kampung Urumb, adalah sebagian warga Marind yang sudah cakap bersawah dan menghasilkan sekitar 1,5 ton beras tiap kali panen. Keluarga Cornelia bertani padi sejak 1962, saat beberapa warga Marind di pesisir pantai hijrah ke daratan. Orangtua mereka belajar bersawah dari transmigran asal Jawa.
Berburu kanguru atau rusa dengan bekal busur dan tombak pun mulai jarang mereka lakukan. Demikian pula menokok (mengikis) daging pohon sagu dengan kahanggat, hanya dilakoni di waktu-waktu tertentu, seperti menjelang upacara adat.

 Kepala Pusat Kajian Pengembangan Masyarakat Marind, Fredreikus Gebze, menuturkan, transformasi itu bermula awal tahun 1900-an, ketika   gelombang pendatang masuk ke Merauke. Kebanyakan pendatang adalah orang Jawa yang dibawa Belanda, dan di Merauke kini mereka dikenal dengan sebutan Jamer (Jawa Merauke).
Pertemuan itu membuat orang Marind--yang umumnya berpostur tegap tinggi besar dan hidung mancung--mulai kenal pertanian padi dan palawija. Lahan persawahan pun mulai dibuka di sekitar pantai Merauke, dan Distrik Kurik. Saat tulaj, sekitar 1910, sejumlah warga Marind membuka sawah dan menanam padi. Perkenalan suku Marind pada sistem pertanian modern berlanjut hingga gelombang transmigrasi tahun 1965, sampai 1995. Pada tahun 1985, pemerintah merelokasi keluarga-keluarga Marind di daerah transmigran, dan membekali dengan   pertanian modern, dari mengolah tanah dengan pacul dan traktor,   menabur benih, dan memupuk, hingga memanen.

Meski transformasi itu tidak berjalan mulus, suku Marind yang tinggal di sekitar pemukiman transmigrasi, seperti Distrik Semangga, Kurik, dan Kumbe, secara perlahan menyerap kecakapan budi daya. Vincentius Takai Mahuze (43) misalnya, warga Kampung Urumb, Distrik Semangga, bisa mendapatkan 40 karung gabah dari sawahnya seluas 1 ha, setiap panen. Minimal, dia  mengantongi Rp 3,6 juta dari hasil penjualan 1,2 ton beras.

 
Walaupun sudah bertani, budaya meramu, memangkur sagu, menjaring ikan, berburu dan berkebun dengan metode sederhana, yakni wambat      (membuat deretan bedeng setinggi lutut orang dewasa untuk ditanami umbi-umbian dan pisang), tetap mereka pertahankan. Ini, tersisa pada suku Marind yang bermukim di pedalaman hutan dan rawa.   Mereka adalah suku Kanum, subsuku Marind, yang mendiami Kampung Yanggandur, Torai, Erambu, Sota, dan Rawa Biru, di Distrik Sota

Jadilah aktivitas bertani melengkapi keseharian suku Marind yang asli, yaitu keluar-masuk berburu rusa, babi, buaya, dan kanguru. Hasil buruan mereka dijual ke Merauke tanpa diolah lebih dulu. Oleh warga perkotaan, daging rusa itu diolah sebagai bahan bakso dan dendeng. Merauke adalah penghasil dendeng rusa yang populer, di samping kerajinan tas, dompet, ikat pinggang dari kulit buaya.

Menurut Jago Bukit, Kepala Badan Pengembangan Sosial Ekonomi Yayasan Santo Antonius, Merauke, warga suku Marind tak bisa bertahan dengan meramu dan berburu. Sebab, hutan dan sabana perburuan terdesak dan menciut, karena lahan mereka dikapling pengusaha.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com